Jumat, 27 September 2013

PEDOMAN DAKWAH TOLERAN


Sebagaimana sudah kita pahami, secara harfiyah, dakwah berasal dari kata da’a, yad’u, da’watan yang artinya panggilan, seruan atau ajakan. Maksudnya adalah mengajak dan menyeru manusia agar mengakui Allah SWT sebagai Tuhan yang benar lalu menjalani kehidupan sesuai dengan ketentuan-ketentuan-Nya yang tertuang dalam Al-Qur’an dan Sunnah. Dengan demikian, target dakwah adalah mewujudkan sumber daya manusia yang bertaqwa kepada Allah SWT dalam arti yang seluas-luasnya.
             Untuk mewujudkan masyarakat yang rukun, damai dan toleran, para da’I memiliki peran yang sangat penting. Karena itu ada pedoman dakwah yang bisa dijadikan sebagai rujukan.

 1.      Menanamkan Prinsip Perbedaan Agama Tanpa Permusuhan.
Menanamkan prinsip bahwa agama itu berbedaan antara satu dengan lainnya merupakan hal yang sangat penting, sehingga jangan sampai hanya dengan maksud menciptakan perdamaian dan toleransi antarumat beragama kita menganggap apalagi sampai meyakini dan mengkampanyekan bahwa “semua agama sama, sama-sama baik”, ini merupakan hal yang  sama sekali tidak bisa dibenarkan. Dakwah harus menanamkan kepada manusia bahwa Islam merupakan satu-satunya agama yang benar. Karena itu, tertolak dihadapan Allah SWT bila seseorang memilih agama selain Islam, ini merupakan keyakinan yang tidak bisa ditawar-tawar, Allah SWT berfirman: Barangsiapa mencari agama selain Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima  (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi (QS Ali Imran [3]:85)

 2.      Tidak Mencela Tuhan dan Konsep Agama Lain.
Dalam dakwah kita tidak dibenarkan menghina sesembahan selain Allah dan konsep agama yang dilakukan oleh orang yang didakwahi, hal ini hanya akan menyebabkan orang menjadi tersinggung perasaannya, meskipun ia tahu bahwa apa yang disembahnya merupakan sesuatu yang salah, Allah SWT berfirman: Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan Demikianlah kami jadikan setiap umat menganggap baik pekerjaan mereka. Kemudian kepada Tuhan merekalah kembali mereka, lalu dia memberitakan kepada mereka apa yang dahulu mereka kerjakan. (QS. Al An’am [6]:108).

3.      Tidak Memaksa Pemeluk Agama Lain Untuk Masuk Islam.
Bila manusia telah memilih atau menganut suatu agama berdasarkan keyakinannya, maka meskipun kita sangat ingin agar ia masuk Islam, tetap saja kita tidak dibenarkan untuk memaksanya untuk masuk Islam, Allah SWT berfirman: Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); sesungguhnya telah jelas jalan yang benar dari pada jalan yang sesat (QS Al Baqarah [2]:256).
Manakala seseorang sudah masuk Islam, untuk melaksanakan ajaran Islam sebenarnya bukan dipaksa, tapi harus disiplin dalam berislam dan untuk bias disiplin itu kadangkala terasa ada unsure pemaksaan, pada hal itu hanyalah konsekuensi dan itu berlaku dalam segala hal.

4.      Memberikan Hak Beribadah Kepada Penganut Agama Lain.
Masyarakat yang plural bukanlah masyarakat yang bingung tanpa keyakinan yang jelas, karena itu dalam perkara ubudiyah atau peribadatan tidak bias dicampur-campur, masing-masing penganut agama harus menjalankan peribadatan menurut keyakinannya masing-masing. Rasulullah saw juga pernah diajak untuk menjalankan peribadatan bersama dengan orang-orang kafir, namun dengan tegas diarahkan oleh Allah SWT untuk tidak dipenuhi keinginan atau ajakan itu sebagaimana firman-Nya: Katakanlah: “Hai orang-orang kafir, aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah. Dan kamu bukan penyembah Tuhan yang aku sembah. Dan aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah, dan kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah Tuhan yang aku sembah. Untukmulah agamamu, dan untukku lahagamaku” (QS Al Kafirun [109]:1-6).

5.      Menekankan Kembali Pada Al-Qur’an dan Sunnah Pada Umat Islam.
Pluralitas pada internal umat Islam juga terjadi, mulai dari adat istiadat yang melatarbelakanginya sampai pada perbedaan mazhab dan pemikiran. Selama keragaman itu didasari oleh dasar hukum dan nilai di dalam ajaran Islam, maka perbedaan pendapat itu bisa diterima. Oleh karena itu, setiap kali ada perbedaan pendapat, seharusnya kaum muslimin mau mengembalikan atau merujuknya kepada Al-Qur’an dan Hadis sambil melepaskan nilai-nilai traidisi yang selama ini dipegang erat atau pendapat yang tidak benar namun sudah terlanjur dianut, Allah SWT berfirman : Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul serta ulul amri diantara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya (QS An Nisa [4]:59).

6.      Menegakkan Prinsip Keadilan
Dalam kehidupan sosial kemasyarakatan, hubungan antarumat beragama dengan sukunya yang beragam harus berlangsung sebaik mungkin, karena itu amat ditekankan untuk menegakkan keadilan sehingga para da’i harus menekankan kepada jamaah agar ketidaksukaan kita kepada penganut agama atau suku lain sampai membuat kita tidak berlaku adil, Allah SWT berfirman: Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap suatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada taqwa dan bertaqwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan (QS Al Maidah [5]:8).

Dalam suatu kasus, seorang yang mengaku mukmin pada masa Nabi padahal hakikatnya adalah munafik bersengketa dengan orang Yahudi. Si mukmin ini mengusulkan agar dicari penengah dan ketika si munafik itu mengusulkan Rasulullah yang jadi penengah ia setuju saja. Tapi setelah diputuskan oleh Rasul bahwa ia yang salah, si munafik itu tidak menerima keputusan, ia pun bersengketa lagi lalu mengusulkan Umar bin Khattab  yang jadi penengah, si Yahudi menerimanya. Setelah mendengar penjelasan dan mengetahui apa keputusan Rasul, maka si munafik itu kemudian dibunuh oleh Umar karena ia terbukti telah mengkhianati Rasul. Di situlah nampak betapa Rasul berlaku adil, meskipun terhadap orang Yahudi.

Dari pokok-pokok pikiran di atas, nampak sekali betapa penting peran para da’i atau muballigh dalam upaya membangun kehidupan yang toleran antar umat yang beragam tanpa harus mengabaikan identitas keislaman.

Sumber: Lazuardi Birru

Tidak ada komentar:

Posting Komentar