Jumat, 30 Agustus 2013

ANUGERAH DAN AMANAH



Ada banyak sunnah Rasulullah SAW yang harus kita laksanakan dalam kehidupan kita sebagai seorang Muslim. Salah satunya adalah yang terkait dengan telah dilahirkannya seorang anak, yakni aqiqah. Secara harfiyah, aqiqah artinya sembelihan untuk anak yang baru dilahirkan. Pada saat anak dilahirkan, orang tuanya menyembelihkan kambing pada hari ketujuh dari kelahirannya, satu ekor kambing bila yang dilahirkan anak perempuan dan dua ekor bila yang dilahirkan anak laki-laki. Ini merupakan salah satu ibadah yang hukumnya sunnah muakkad, sesuatu yang sangat ditekankan untuk kita laksanakan.

            Anak merupakan anugerah atau pemberian dari Allah SWT. Lahir dan terciptanya seorang anak bukanlah karya bapak dan ibunya, karena bapak dan ibunya hanyalah sebab. Karenanya, sebagai penyebab seseorang tidak bisa memastikan keturunannya lahir seratus persen sebagaimana yang didambakan. Ada kalanya seorang bapak ingin punya anak laki-laki tetapi yang lahir malah perempuan atau sebaliknya. Karena anugerah, maka setiap kelahiran seorang anak haruslah kita syukuri dan kita pun turut berbahagia karena satu lagi warga dunia sudah dilahirkan. Itu sebabnya, sudah selayaknya kita bergembira dan mengucapkan selamat atas kelahiran anak dari saudara, sahabat dan tetangga kita. Dengan demikian, anak keberapa pun yang dilahirkan dari sahabat atau saudara dan tetangga kita, janganlah kita merasa keberatan apalagi sampai menumbuhkan rasa pesimis atau berkecil hati kepadanya akan kemungkinan ia bisa membesarkan dan mendidik sang anak dengan baik.

Di samping anugerah, anak juga amanah atau titipan dari Allah SWT yang harus dipelihara dengan sebaik-baiknya sehingga pada saatnya ia kembali dalam kematiannya, ia mati dalam keadaan suci sebagaimana dilahirkan. Di sinilah letak tanggung jawab orang tua untuk selalu menjaga kesucian pribadi sang anak. Rasulullah SAW bersabda: “Setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah (suci). Kedua orangtuanyalah yang bertanggung jawab apakah anak itu menjadi Yahudi, Nasrani atau Majusi” (HR. Imam Malik, Al-Bukhari dan Muslim).

Empat Keharusan Orang Tua
            Untuk membuktikan diri sebagai orangtua yang bersyukur atas anugerah anak dan sekaligus membuktikan bahwa mereka pandai menjaga amanah dari Allah SWT, setidaknya ada ada empat  hal yang harus diperhatikan dan dilaksanakan oleh orangtua terhadap anak-anaknya. 

Pertama, mendidik anak dengan memberikan bimbingan akhlak yang mulia sehingga anak mengerti mana yang baik dan mana yang tidak, selanjutnya yang baik dilaksanakan dalam kehidupan dan yang buruk ditinggalkan. Dalam proses pendidikan kepada anak, orang tua tidak cukup hanya memberikan arahan-arahan atau sekedar instruksi, tetapi orang tua harus mengikuti secara langsung perkembangan kepribadian sang anak sehingga dalam kaitan ini orangtua juga harus bergaul seakrab mungkin dengan anak-anaknya. Rasulullah SAW bersabda: “Bergaullah dengan anak-anakmu dan bimbinglah kepada akhlak yang mulia” (HR. Muslim).

            Mendidik anak agar menjadi generasi yang shaleh dengan akhlaknya yang mulia merupakan bagian terpenting dari tanggung jawab orangtua dalam mencegah anggota keluarganya dari api neraka. Allah SWT berfirman: “Hai orang-orang yang beriman, jagalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu” (QS. At-Tahrim: 6).

Kedua, yang harus diperhatikan oleh orang tua terhadap anaknya adalah memberi nafkah yang halal dan baik. Hal ini merupakan kewajiban atau tanggung jawab yang sangat penting. Jika terjadi perceraian antara suami dengan istri atau bapak dengan ibu, lalu sang anak mengikuti ibunya, maka tanggung jawab tetap terletak kepada bapak dalam menafkahi anaknya. Bila seorang bapak tidak menafkahi anaknya dengan nafkah yang baik, maka ia disebut sebagai orangtua yang tidak bertanggung jawab kepada anaknya. Rasulullah SAW bersabda: “Cukuplah seseorang itu dianggap berdosa jika dia menyia-nyiakan orang yang menjadi  tanggungannya” (HR. Abu Daud, Nasa`i dan Hakim).

            Karena seorang bapak harus menafkahi anaknya di samping istrinya atau ibu dari anak-anaknya, maka menjadi keharusan baginya untuk mencari nafkah secara halal dan bersungguh-sungguh. Jika demikian, Allah SWT menjadi senang kepadanya dan ia pun disejajarkan dengan orang-orang yang berjihad di jalan Allah SWT. Rasulullah SAW bersabda: “Sesungguhnya Allah suka kepada hamba yang berkarya dan terampil. Barangsiapa yang bersusah payah mencari nafkah untuk keluarganya, maka dia serupa dengan seorang mujahid di jalan Allah Azza Wa Jalla (HR. Ahmad).

Ketiga, berlaku adil terhadap anak dengan memberi perlakuan yang sama kepada mereka. Misalnya orang tua mempunyai dua anak, yang satu cantik yang satu lagi jelek, pada saat bepergian, anak yang cantik yang selalu diajak sedang anak yang jelek selalu ditinggal di rumah, sikap ini merupakan sikap yang tidak adil kepada anak. Permisalan serupa misalnya anak laki-laki yang disekolahkan hingga perguruan tinggi, sedang anak perempuan cukup hanya sampai tingkat SLTA atau SLTP. Perlakuan orangtua yang tidak adil kepada anak-anaknya akan membuat kekecewaan sang anak kepada orangtuanya di samping hal itu juga akan membuat sang anak bila kelak mempunyai anak, ia tidak mendapatkan pengalaman yang baik untuk diteruskan kepada anak-anaknya. Rasulullah SAW bersabda: “Persamakan di antara anak-anakmu dalam pemberian, dan seandainya aku boleh memberikan kelebihan kepada salah satu di antara mereka, pasti akan aku berikan kepada anak perempuan (HR. Ahmad dan Tirmidzi).

Keempat, memberikan kasih sayang kepada anak dengan memperlakukan mereka sebaik mungkin. Jangankan anak, manusia kadang-kadang memiliki binatang peliharaan yang diurus dan disayang serta diperhatikan. Kalau binatang peliharaan saja sedemikian disayang, sudah semestinyalah anak sendiri lebih disayang. Rasulullah SAW menunjukkan kepada para sahabat dan kita semua sebagai umatnya bahwa beliau begitu sayang kepada anak-anaknya. Dalam suatu riwayat disebutkan: Abu Hurairah RA berkata: Rasulullah SAW mencium (menyayangi) Hasan dan Husain (cucu-cucu Nabi SAW), sedang saat itu ada Aqra bin Habis Al-Tamimi yang berkata: ‘Aku punya sepuluh anak, tak seorang pun di antara mereka yang aku cium.’ Rasulullah SAW menoleh kepadanya dan bersabda: “Siapa yang tidak mengasihi, tidak akan dikasihi (HR. Bukhari dan Muslim).

            Meskipun demikian, kasih sayang kepada anak bukan berarti anak terlalu dimanja hingga sang anak tidak bisa mandiri, apalagi bila orangtua sampai tidak bisa menunjukkan sikap tegasnya terhadap kesalahan yang dilakukan sang anak. Mengenai hal ini, Rasulullah SAW bersabda: “Perintahkanlah anak-anakmu salat ketika berumur tujuh tahun dan pukullah (jika menolak perintah salat, dengan pukulan yang bersifat mendidik dan tidak menyiksa) apabila ia berumur sepuluh tahun dan pisahkanlah tempat tidurnya (dari saudaranya yang berlainan jenis kelamin)” (HR. Abu Daud).
            Manakala orangtua telah berperan secara baik dan menjalankan kewajiban terhadap anak-anaknya, insya Allah sang anak akan menjadi anak yang saleh dan menjadi penopang yang sangat penting bagi terwujudnya keluarga yang bahagia, tidak hanya di dunia tetapi juga dalam kehidupan di akhirat nanti.

Sumber: Lazuardi Birru

Kamis, 29 Agustus 2013

Jejak Kisah Cinta dalam Peradaban Islam


Salah satu kata yang akan abadi diperbincangkan adalah cinta. Bertambahnya waktu tidak membuat kata ini pudar pesonanya. Bahkan ada yang mengatakan bahwa kehidupan alam semesta saat kini dimungkinkan oleh cinta. Setiap orang berapapun umurnya dan apapun warna kulitnya tak pernah bungkam membicarakan cinta. Lantas apa itu cinta?

Sudah banyak karya maestro-maestro dunia yang mencoba mendedahkan makna cinta. Namun tampaknya dari sekian banyak konseptualisasi cinta, mayoritas sepakat bahwa pembicaraan tentang cinta dapat dibagi dua; cerita cinta semu dan kisah cinta sejati. Cinta semu hanya menonjolkan aspek biologis semata. Sehingga tidak mengherankan jika perbincangan tentang cinta dalam kategori ini akan cepat berhenti dan akan terus berulang lantaran dalam hal ini cinta mengalami penyempitan makna. Berbeda ketika orang membicarakan cinta sejati yakni cinta yang membangun, menginspirasi, sehingga menggairahkan orang untuk terus berbuat kebaikan dan meraih prestasi. Cinta seperti inilah yang dicoba penulis muda Salim A Fillah tawarkan dalam karyanya yang berjudul Jalan Cinta Para Pejuang.

Buku ini berisi kisah-kisah cinta yang terabadikan dalam peradaban Islam. Salah satu di antaranya adalah cerita romansa yang dijalani Layla dan Majnun. Di antara para pejuang cinta kisah klasik sangatlah masyhur. Kecintaan pada pasangannya yang begitu lengket membuat mereka terjebak dalam kegilaan bahkan ada yang menyebutkan keduanya menjelma menjadi seorang yang majnun (gila). Jalan cinta semacam ini kerap terduplikasi oleh generasi-generasi di era kapanpun. Sekarang misalnya kita tidak asing lagi dengan berita orang nekad menenggak racun karena cintanya tertolak.

Ada juga kisah cinta lain yang mengambil dari  sirah nabawiyyah (cerita nabi) dan para sahabat atau orang-orang yang sezaman dan hidup bersama nabi Muhammad. Di antara kisah yang disuguhkan dalam karya Salim A Fillah dalam kategori ini adalah kisah Hamzah yang rela menunda kesenangan di malam pertama dengan istrinya hanya demi mengutamakan perang di jalan Allah. Kisah-kisah dari para khulafa al Rasyidin dan para syuhada lainnya menjadi fokus utama lantaran dimensi insiratifnya. Jadi sembari membaca buku tentang kisah dan cerita cinta, wawasan sejarah peradaban Islam pembaca juga akan bertambah.

Gaya bahasa yang tersusun mengalir dan apik adalah kekuatan karya yang berjudul Jalan Cinta Para Pejuang. Kisah-kisah yang disuguhkan pun jauh dari nuansa bertele-tele. Artinya format cerita pendek menjadi model dalam penulisan cerita. Tentu saja pembaca akan semakin dimanjakan lantaran format cerpen akan membuat pembaca tidak “lelah” dalam menemukan inti cerita di setiap penggalan kisah yang disampaikan.

Tampaknya pesan penting yang ingin di sampaikan oleh Salim A Fillah ada dalam penggalan kata-kata berikut “Jika kita menghijrahkan cinta; dari kata benda menjadi kata kerja maka tersusunlah sebuah kalimat peradaban dalam paragraph sejarah. Jika kita menghijrahkan cinta; dari jatuh cinta menuju bangun cinta maka cinta menjadi sebuah istana, tinggi menggapai surga”. 


Sumber: Lazuardi Birru

Rabu, 28 Agustus 2013

Jalan Menuju Tuhan dalam Sufisme Nusantara

 

Pada masa Islam awal terdapat dua perkembangan paham keagamaan dalam diri umat Islam, pertama adalah mereka yang tertarik pada persoalan teologi dan hukum Islam  dan golongan yang tertarik pada ajaran Islam dengan memberikan dasar yang lebih bersifat pribadi dan spiritual terkait peribadatan agama. Dua kalangan umat Islam ini sebenarnya mempunyai tujuan dan menjawab persoalan yang sama, bagaimana mendekatkan diri pada Allah. Golongan pertama meyakini bahwa jalan menuju Tuhan itu ditempuh dengan Syariat, sementara golongan kedua meyakini bahwa jalan menuju Tuhan hanya bisa ditempuh degan tasawwuf.

Namun demikian pertentangan antara kedua kubu atau golongan itu, tidak sepanas sebagaimana terjadi dalam golongan Tasawwuf sendiri. Sumbu pertentanganya adalah sama,  datang dari pertentangan antara aspek syariah dan tasawuf dalam tasawwuf Islam yang seolah berdiri masing-masing dalam mencapai ketuhanan.

Dalam sejarah Islam, tasawuf yang dimaknai sebagai ilmu untuk mengetahui bagaimana cara menyucikan jiwa, menjernihan akhlaq, membangun dhahir dan batin, untuk memporoleh kebahagian yang abadi  sudah ada sejak abad pertama hijriyah atau pada masa Nabi Muhammad di Makkah. Apa yang nampak pada sufisme masa pertama ini lebih dekat pada pengalaman spritiual untuk mendekatkan diri pada Tuhan.  Namun,  sandaran ajaranya yang tetap mengikuti kehidupan keagamaan Rasul menandakan bahwa pengalaman spiritual tersebut hanya bisa tercapai ketika mengikuti syariat Islam yang dibawa Nabi. Tapi, menurut Fazlur Rahman, pada masa berikutnya kesalehan spiritual ini  berkembang menjadi doktrin ekstrim pengingkaran terhadap dunia dan cenderung bermusuhan dengan golongan muslim yang mementingkan aspek syariah dalam agama.[i]

Jalan menuju Tuhan, Dengan atau Tanpa Syariat
Pada abad ke-3H muncul dua aliran besar dalam tasawuf yaitu aliran Khurasan dan aliran Bahdad.  Aliran Khurasan ditandai dengan konsep tasawuf yang cenderung spekulatif, asketik dan mengabaikan aspek syariat .Di antara tokoh yang terkenal adalah  Ibn al-Arabi dan Abu Yazid al Bustami.  Disisi lain aliran baghdad lebih cenderung mengembangkan doktrin tasawuf yang menolak asketisme radikal, menjauhi doktrin fana (kesatuan manusia dan Tuhan) dan tetap mempertimbangkan syariat sebagai pegangan untuk masuk dalam dunia sufisme. Di antara tokohnya adalah Harits al Muhasibi (w 234H),  Junaid al Baghdadi (w 298H). [ii]

Perkembangan aliran tasawwuf di Timur Tengah ini khurasan juga membawa pengaruh signifikan terhadp pola perkembangan Tasawuf di Nusantara. Meski penyebutanya, tidak lagi menggunakan kosakata Baghdad dan Khurasan, tapi lebih dengan perbedaaan antara corak sufisme Tradisional dan corak Theosufisme. Corak dari aliran teheosofi lebih bersifat filosofis, penekanan yang berlebihan  pada doktrin Tawakkul atau kepasarahan mutlak pada Tuhan, entah itu berbentuk cinta pengetahuan akaliyah ataupun cinta rohaniyah batiniyyah dan cenderung menjauhi atau lebih tepatnya mencoba melampuai ketentuan sayariat untuk sampai pada hakikat Tuhan.  Sementara aliran tradisional ciri utamanya adalah penekananya pada syariat sebagai prasyarat untuk memasuki dunia Tasawuf dan jalan menuju hakikat Ketuhanan.

Perbedaan dan dua aliran tasawuf tersebut dalam perkembanagan sufisme nusantara msing-masing memperoleh tempat  di Bumi Nusantara.  dari pengaruh Al Jilli dan Ibn Arabi berkembanglah suatu doktrin sufime spekulatif–filosofis sebagaimana diajarkan secara luas di Nusantara apda abad ke-17 oleh Hamzah Al Fansuri dan Sayams al Din al Sumatrani. Sedangkan dari aliran sufisme tardisional adalah Nur Al Din Al Raniri dengan konsep tasawuf yang lebih mendarakan diri pada syariat. Dalam amasa inilah munkin telah terjadi pergesaran besar dalam perkembangan corak sufisme dan ajaran tasawuf  di Nusaantara dari konsep wahdatul wujud dengan aspek sepklutif-filosofis dan eskatisme yang berlebihan dengan doktrin sufisme  yang lebih menekankan atau suatu model doktrin tasawwuf yang dibingkai oleh sufisme.

Pada masa lalu, usaha rekonsiliasi dan sintesis dua kecederungan sufisme dalam Islam ini telah diselesiakan oelh Al-Ghazali pada abad 4 H, teruatama ketika ia berhasil menjadikan tasawuf pada poisisi tinggi dalam Teologi Sunni dan ulama fiqih pada umumnya. Sementara dalam konteks Nusantara, bisa dikatakan bahwa Abdul al Rauf al Sinkili adalah orang yang mungkin pertama kali berhasil merumuskan secara teoritis perpaduan antara sufisme dan syariat dengan mengambil inti positif dari keduanya dari pada mempertentangkanya secara tegas sebagaimana kecenderungan pada masa sebelumnya.

Meski al Sinkili secara jelas merumuskan konsepnya tentang kesatuan anatara manusia dan Tuhan yang lebih dekat denbgan konsep wahdatul wujud, namun ia tidak bisa begitu saja dikategorikan sebagai penganut wahdatul wujud ekstrem. Sebab al-Singkili secara tegas tetap membedakan antar eksisitensi manusia dengan trensendensi Tuhan.[iii]

Konsep tasawwuf Al Sinkili tersebut teruatama terlacak pada karyanya Tanbih al-Masyi. Al Singkili menjelaskan bahwa segala penampakan yang ada pada dasarnya adalah satu.  Alam tidak lain adalah baying-bayang dari yang satu yang telah diketahui sejak zaman azali, yang kemudia memiliki wujud sebagaiman dikehendaki-Nya. Dalam konsep ini manusia tidak lain adlah bayang dari yang Haq atau bayangan dari bayanga-Nya. Karena alam hanyalah bayang dari wujud-Nya yang tunggal, maka  alam tidak mutlak identik dengan Tuhan.  Meski demikian, tidak menutup kemungkinana bahwa wujud alam dengan wujud al-haq memiliki keserupaan dan kemiripan. Sebab Tuhan telah melakukan pennmpakan wujud dirinya atas alam. Sedangkan sifat-sifat Tuhan secara reflektif nampak pada diri manusia. Namun ini hanya terjadi pada manuisa yang telah mencapai kategori insan kamil.

Dengan tetap bersikukuh menjaga trensendensi Tuhan atas makhluk, al Sinkili menjelaskan bahwa meski alam itu adalah emansi dari cahaya Tuhan, namun demkian ia bukanlah Tuhan sendiri. Karena posisi dari zat luar tak lebih sebagai Nazhar (bayangan) dari Tuhan. Demikian juga, meskip manusia sudah mencapai poisi sebagai insan kamil adan maratabatanya naik mendekati posisi Tuhan., namun posisinya tak lebih hanya sebagai makhluknya. Demikian pula Tuhan, meski ia turun dari kegaiban pada alam namun apda hakikatnya ia tetaplah sang Khaliq. Jadi bagaimanpaun posisinya, apakah itu kejadian pada makhluk yang naik pada tingkatan tertinggi spritualitas (tarraqi), ia tetapalah manusia, sedangkan Tuhan tetaplah Tuhan meski ia ia telah turun pada alam (tanazzul). Karena itu kesatuan antara Tuhan dan Manuisa secara total dalam konteks ini tidak bisa terjadi.

Pada dasarnya ajaran Tasawuf al Sinkili berusaha mengabungkan antara pendapat dan doktrin dari Theosufi dengan doktrin Sufisme Ortodoks. Ajaran al Singkili sendiri adalah suatu perumusan untuk menjaga keharmonisan antara aspek syariat dengan aspek aspek sufisme Islam yang cenderung esaktis dan anti syariat. Dia pun menjelaskan bahwa tasawwuf harus bergandengan dengan syariat. Hal demikian didasarkan atas keyakinanya bahwa jika Muhammad adalah sumber lahirnya seluruh realitas alam, kepatuhan terhadap segala ajaranya merupakan kepatuhan yang tak terbantahkan  untuk mencapai sumber dari segala wujud, yakni Allah. Dengan kepatuhan terhadap syariat , para sufi dapat memperoleh penagalaman sejati tentang haqiqah.

Demikinlah, syariat dan tasawwuf  sama-sama menempatkan Allah sebagai tujuan Ibadah. Perbedaan terletak pada segi motifasinya. Kaum sufi berkeinginan lebur bersama Allah karena dorongan cinta atau ijtihad, sedangkan pada kaum syariah motifasinya adalah keinginan taat kepada Allah. Namun demikian sebenarnya antara Syariat dan Tasawuf adalah dua sisi koin mata uang yang tidak bisa dipisahkan. Syariat berhubungan dengan tatacara menata kehidupan lahiriyah dan ibadah yang bersifat lahiriyah, sementara  dunia tasawuf merupakan pengetahuan ubudiyahnya batin. Selain itu, dasar semua Tasawuf tidak lain adalah Al-Qur’an dan Sunnah Nabi.

Sumber: Lazuardi Birru

Selasa, 27 Agustus 2013

Apa sebenarnya makna dari kerukunan antarumat beragama?

Ustadz Menjawab




Kerukunan antarumat beragama bermakna rukun dan damainya dinamika kehidupan umat beragama dalam segala aspek kehidupan, seperti aspek ibadah, toleransi, dan kerja sama antarumat beragama.

Rasullullah SAW telah mengimplementasikan dan memberikan contoh kepada umatnya tentang bagaimana sebuah masyarakat yang kompleks, multietnis, dan mutliagama harus dapat hidup berdampingan dan saling menghormati satu dengan yang lainnya. Beliau benar-benar mempraktikkan kerukunan antarumat beragama dalam kehidupan beliau. Hal tersebut bisa dilihat bagaimana Rasullullah SAW memberikan kebebasan kepada penganut agama lainnya di Madinah untuk menjalankan kepercayaan masing-masing dengan kebebasan penuh. Beliau memberikan hak kepada komunitas Yahudi Madinah untuk hidup sesuai dengan hukum dan kepercayaan mereka.

Islam sangat menganjurkan kepada pemeluknya untuk senantiasa menghormati penganut agama lain demi terciptanya kerukunan antar umat beragama. Hal itu dapat dilihat dari firman Allah SWT yang dengan tegas melarang umat Islam untuk menghina Tuhan yang dianut oleh umat agama lain sebagaimana disebutkan dalam QS. Al-An’am ayat 108.

Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan. Demikianlah Kami jadikan setiap umat menganggap baik pekerjaan mereka. Kemudian kepada Tuhan merekalah kembali mereka, lalu Dia memberitakan kepada mereka apa yang dahulu mereka kerjakan” (QS. Al-An’am: 108).

Selain itu, Islam juga memberikan kebebasan kepada penganut agama lain untuk menjalankan kepercayaan mereka. Hal tersebut dijelaskan dalam QS. Al-Kafirun ayat 6:

“Untukmu agamamu, dan untukku agamaku” (QS. Al-Kafirun: 6).

Dalam perspektif Islam kerukunan antarumat beragama harus diaplikasikan dalam bentuk tolensi dan kerja sama antarumat beragama, sehingga akan terbentuk sebuah masyarakat madani yang di dalamnya tercipta kerukunan antarumat beragama. Dengan demikian, agama akan menjadi perekat bagi umat, bukan menjadi pemecah umat manusia.

Sumber: Lazuardi Birru

Minggu, 25 Agustus 2013

Pancasila Solusi Problem Bangsa



Dalam dekade terakhir, banyak persoalan yang menghinggapi bangsa ini. Seolah-olah problem bangsa tidak ada habisnya, mulai dari kasus korupsi, narkoba, aksi kekerasan, dan tawuran pelajar. Persoalan silih berganti, namun tak ada solusi jitu yang bisa mengatasinya.

Parahnya lagi, generasi muda sebagai penerus bangsa terlibat dalam pelbagai peristiwa yang sungguh menyedihkan itu. Sampai-sampai ada selentingan “Pelajar kita kalau tidak terlibat tawuran, paling makai narkoba, atau buat vedio mesum”. Semoga selentingan tersebut hanya isapan jempol belaka.

Namun faktanya, selama tahun 2012 ini setidaknya sudah ada 16 orang meninggal akibat tawuran antarpelajar. Data ini cukup miris dan merisaukan. Karena itu, semua pihak harus berkontribusi dalam menyelesaikan masalah dan mencari benang merah agar hal serupa tidak terulang kembali.

Di ranah pendidikan, untuk mengantisipasi problem bangsa tersebut, kurikulum Pancasila dan Kewarganegaraan (PKn) bisa memberikan secercah harapan agar generasi muda tercerahkan. Salah satunya adalah memberikan pemahaman tentang nilai-nilai Pancasila. Dengan pemahaman nilai-nilai Pancasila ini, diharapkan para pelajar bisa memantapkan kepribadian dan karakter agar memiliki kepekaan sosial, rasa cinta tanah air, mandiri, jujur, bertanggung jawab, dan dapat bertindak positif untuk berkontribusi pada bangsa.

Nilai-nilai Pancasila sangat dibutuhkan untuk membangun karakter bangsa. Pendidikan Pancasila seharusnya diyakini dapat menjadi sarana menanggulangi persoalan bangsa yang kerap menghantui negeri ini. Pancasila dinilai strategis karena dalam Pancasila terkandung nilai-nilai luhur yang digalih dari pengalaman sejarah bangsa dalam mengarungi pelbagai persoalan yang pernah terjadi.

Dalam konteks ini, seharusnya guru Pancasila dan Kewarganegaraan (PKn) tidak hanya menjejali materi yang sifatnya teks book, namun harus diimbangi dengan paktek langsung dalam memahami keberagaman yang menjadi ciri khas bangsa Indonesia.

Misalnya dalam materi toleransi, para pelajar tidak hanya diajarkan pengertian dan konsep materi, namun para pelajar diajak merefleksikan latar belakang siswa-siswa yang ada dalam kelas tersebut.

Selain itu, perlu juga melibatkan para pelajar dalam kegiatan masyarakat dan memberikan pemahaman materi terkait visi-misi berbangsa dan bernegara, problematika remaja, dan mengenal budaya Indonesia.

Generasi muda, khususnya para pelajar harus dikenalkan dengan lingkungan sekitar agar memahami sosial-budaya yang ada di lingkungannya. Dimensi sosial-budaya yang telah menjadi tata nilai merupakan kearifan lokal yang menjadi bagian dari proses pendidikan yang harus dilakukan. Harmonisasi kehidupan sosial masyarakat yang Pancasilais tersebut akan sangat membantu pelajar dalam kehidupan sehari-hari.[]

Sumber: Lazuardi Birru