Senin, 16 September 2013

Meneropong Tradisi Keilmuan Islam


Kemajuan suatu bangsa dan masyarakat tidak bisa dilepaskan dari kemajuan dalam ilmu pengetahuan yang ada di masyarakatnya. Ibarat antara isi dan wadah, ilmu pengetahuan merupakan isi dari kemajuan, sementara bangsa dan masyarakat merupakan wadah tempat bernaung ilmu tersebut.  Sebagaimana kita tahu, Barat maju dalam ilmu dan memberi banyak sumbangan kepada peradaban dunia karena ia memiliki tradisi keilmuan yang agung. Demikian juga para ilmuwan Muslim pada masa lalu telah terbukti secara historis meraih prestasi ilmiah yang sangat gemilang dan memberikan sumbangan yang sangat signifikan kepada peradaban dunia, karena mereka memiliki sebuah tradisi keilmuan yang mapan. Pada akhirnya, bisa dikatakan bahwa tanpa dimilikinya sebuah tradisi keilmuan, suatu bangsa tidak akan mencapai prestasi yang gemilang dalam hal kemajuan.

Islam sendiri sejak awal sangat mendorong kemajuan ilmu ini. Beberapa wahyu seperti Q.S. al-‘Alaq: 1-5 sangat penting perananya dalam mendorong keilmuan Islam. Karena itu, tidak mengherankan jika tradisi keilmuan dalam Islam lantas begitu subur dan semarak pada masa-masa berikutnya. Fondasi keilmuan Islam klasik sebenarnya tidak terlepas dari upaya para intelektual Islam dalam merespon persoalan-persoalan yang muncul dalam masyarakat atas dasar pemahaman mereka terhadap al-Qur’an dan Sunnah. Pada perkembangan berikutnya, jawaban dan respon ulama ini kemudian disusun dan diklasifikasikan sesuai dengan bidang dan wilayah kajian dan objek permasalahan yang dihadapi sehingga melahirkan klasifikasi ilmu-ilmu keislaman.

Tidak dapat dipungkiri bahwa keilmuan Islam pernah memimpin dunia. Ilmu pengetahuan yang dikembangkan oleh dunia Islam tidak hanya berkisar pada ranah kedokteran, tetapi juga termasuk matematika, astronomi dan ilmu bumi sebagaimana terbukti dari banyaknya istilah-istilah modern (Barat) di bidang-bidang itu yang berasal dari para ilmuan Muslim. Ini artinya bahwa prestasi yang pernah diraih oleh dunia Muslim jauh lebih lama dari apa yang sudah diraih oleh dunia Barat modern sekarang ini . Namun seiring rotasi sejarah,  perkembangan keilmuan ini beralih ke Barat.  Menurut Muhammad Iqbal, kemandekan yang terjadi di dunia Muslim tidak bisa dilepaskan dari sikap memusuhi sains dan cara berpikir rasional dari umat Islam sendiri. Secara epistemologis, wacana epistemologi keilmuan Islam klasik yang bercorak tekstual-normatif belakangan lebih dominan daripada epistemologi yang berusaha memaksimalkan akal dan menempatkannya sejajar dengan teks suci dalam mendapatkan ilmu pengetahuan.
Nalar Pemikiran Islam
Menurut Abed al Jabiri dalam bukunya Arab-Islamic Philosopy: a Contemporary Critique, untuk bisa memahami tradisi keilmuan Islam secara kritis, setidaknya harus didasarkan pada dua persoalan utama. Persoalan pertama terkait dengan  pemahaman akan sistem pemikiran Islam secara utuh. Sementara persoalan kedua terkait dengan keterkaitan antara ”kuasa” dan “pengetahuan.” Maksudnya, tradisi keilmuan tidak muncul dengan sendirinya, tapi selalu terkait dengan latar belakang sosial, politik dan budaya suatu masyarakat. Dari situ diketahui bahwa pada dasarnya aktifitas  pemikir muslim dalam berbagai variasinya tetap berkutat pada satu problematika umum yang sama, yaitu suatu usaha ”rekonsiliasi antara nalar dan wahyu”. Sementara terkait dengan latar belakang munculnya tradisi keilmuan bisa diketahui bahwa capaian dari pemikiran filsafat Islam dalam memecahkan problematika antar wahyu dan nalar tersebut sebenarnya memiliki keterkaitaan erat fungsi dan peranya sebagai ideologi.  Demikinlah, perkembangan kelimuan Islam terutama filsafat tidak bisa dilepaskan peranya sebagai alat ideologis oleh penguasa dan dijadikan sarana intelektual oleh para ulama untuk menyerang musuh-musuh mereka.
Sebagaimana kita ketahui, keutuhan negara dan solidaritas masyarakat yang sudah terwujud pada masa Nabi Muhammad dan Khulafaurrasyidin mendapatkan masalah pada masa Dinasti Umayyah. Untuk menghadapi lemahnya solidaritas dan kekuatan masyarakat Islam itu,  pemerintahan Umayyah lebih terfokus pada upaya mempertahankan kelangsungan hidup dan berupaya membangun kemampuan untuk menekan masyarakat, salah satunya dengan menggunakan ilmu. Kecenderungan ini semakin jelas pada masa dinasti Abbasiyah yang menjadi penerusnya.  Untuk menghadapi berbagai kekuatan musuhnya yang datang dari kelompok ahlu al-Bait (keluarga Nabi) yang  menggunakan ideologi gnostisisme, yakni keyakinan akan keberadaan sumber pengetahuan di luar akal dan illuminasi, Dinasti Abbasiyah lebih menekankan al-Quran dan Hadits yang dipadu dengan rasio.
Konflik antara dua tradisi yang mengambil bentuk antara pemikiran tektualis berhadapan dengan kaum ahli ma’rifat-mistis ini bermula pada periode awal pemerintahan Abbasiyah dalam mencari legitimasi politiknya dari khazanah Islam dengan pendekatan filsafat Yunani melawan kebudayaan Persia yang dibawa para aristokrat yang gagal melakukan perlawanan melalui medan real sosial-politik. Menyadari kekuatan lawan yang menggunakan khazanah keilmuan Salaf dipadu dengan logika Aristoteles sebagai kerangka pikirnya, maka kaum gnostik dengan berpegang pada logika dan semangat tradisi Persia kuno memperisai diri di balik pemikiran Syi`ah dengan inspirasinya pada tradisi Islam sendiri. Karena itu tidak aneh jika pada masa berikutnya, pola pemikiran Islam yang berkembang di Timur lebih banyak diwarnai pertentangan antara epistemologi bayani (tektualis) yang lekat dengan Teologi Sunni dengan irfani yang bersandar pada teologi Syi`ah (Tradisi iluminasi dan Gnostik) ini. Konflik kognitif ini sebenarnya juga memiliki akarnya pada pertentangan antara kekuasaan Abbasiyah yang berpusat di Baghdad yang menjadikan Mu’tazilah sebagai doktrin utama dengan Dinasti Fatimiyyah di Mesir yang beraliran Syi`ah.  Jika nalar bayani ini lebih terpaku pada teks atau pada dasar-dasar (dikenal dengan sebutan al-ushul al-arba’ah: Al-Qur’an, sunnah, ijma’ dan qiyas) yang dipatok sebagai sesuatu yang baku dan tidak berubah, maka nalar irfani (spiritual-intuitif) secara epistemologis cenderung tidak rasional.
Dinamika pemikiran yang berkembang di Islam Andalusia dan Maghribi dibawah kekuasaan dinasti Umayyah II memiliki nuansa yang berbeda dengan Islam bagian Arab-Timur yang masih dipegang oleh Dinasti Abbasiyah. Iklim keagamaan yang berkembang di Maghribi adalah Islam yang masih murni, dengan model pemahaman kaum Salafi dengan model fiqih hadits dan fatwa-fatwa sahabat dan paham Ahl Sunnah. Perkembangan ini kemudian mendapat sokongan dari Mazhab Maliki yang berwatak tektualis sebagai mazhab resmi negara menggantikan Mazhab Awza’i sebagai tandingan dari Mazhab Hanafi sebagai mazhab resmi Abbasiyah. Watak ortodoksi kalangan ulama Maliki yang melarang filsafat ke-Tuhanan dan metafisika Aristoteles, Menurut Al Jabiri jutru malah membawa perkembangan lingkungan ilmiah dan rasional di Andalusia atau yang kemudian dalam ranah pemikiran Islam disebut dengan epistemologi burhani. Dalam epistemologi burhani ini, penggunaan rasionalitas tidak terhenti hanya sebatas rasio belaka, tetapi melibatkan pendekatan empiris sebagai kunci utama untuk mendapatkan ilmu pengetahuan, sebagaimana banyak dipraktekkan oleh para ilmuan Barat. Apa yang berlaku dalam pemikiran orang-orang Andalusia ini bukan lagi metode qiyas yang menjadikan teks dan masa lalu (salaf) sebagai otoritas sebagaimana logika Bayani, tapi menggunakan logika Aristoteles dengan metode deduksi (istintaj, qiyas jami’), induksi (istiqra’), konsep universalisme (al-kulli), universalitas-universalitas induktif, prinsip kausalitas dan historisitas, dan juga al-maqashid (tujuan syariah).
Meski demikian, corak dominan yang berkembang dalam kelimuan Islam adalah epistemologi Bayani sebagaimana diwakili oleh sosok Imam Al-Ghazali bukan epistemologi Burhani yang muncul belakangan. Sementara  itu, pandangan Burhani yang diwakili pemikiran Ibn Rusyd malah berkembang di Barat. Padahal menurut, Al-Jabiri, model pemikiran yang bercorak bayani dan irfani sangat sulit untuk dijadikan landasan pengembangan sains. Pasalnya, padangan bayani  lebih bercorak teologis, bukan antropologis maupun kosmologis. Akibat dari pandangan ini menyebabkan pandangan dunia umat menjadi lebih pasif bila dibenturkan dengan wacana pengembangan sains yang lebih antroposentrik-kosmologik. Pandangan epistemologi keilmuan Bayani ini cenderung menjadikan fenomena alam, moral dan sosial semuanya “terserah” pada Tuhan Pandangan ini menjadi sangat teologik-normatif bahkan cenderung mengarah pada mistisme, yang sudah barang tentu bertolak belakang dengan prinsip social sciences maupun natural sciences.

Pada akhirnya bisa dikatakan fenomena kemandekan epistemologi keilmuan Muslim ini sebenarnya bukan orisinal ajaran Islam, tetapi hanya soal interpretasi pemahaman dari ajaran Islam itu sendiri. Karena secara esensial dan substansial, potensi ajaran Islam sangatlah mendorong adanya inovasi keilmuan. Karena itu, Agar Islam dapat kembali pengembangan fenomena epistemologi keilmuan di dunia Muslim, maka sebuah keniscayaan bagi ilmuan Muslim untuk melakukan shifting paradigm di bidang epistemologi keilmuan Islam yakni dari epistemologi keislaman normatif-tekstual-bayani yang berakibat pada sulitnya mengadopsi dan mengelaborasi wawasan dan temuan baru di bidang sains; ke epistemologi keilmuan Islam kontemporer yang bercorak empiris-historis-burhani (secara epistemologis), sehingga berdampak pada adanya temuan baru di bidang sains.  Paling tidak melalui beberapa tawaran diatas itulah peradaban sains dalam dunia Islam kembali mengemuka.

Sumber: Lazuardi Birru

Tidak ada komentar:

Posting Komentar