Editorial


 


Sakaratulmaut Intelektulisme

“Aku berfikir, maka aku ada”. Demikian ujar filsuf terkemuka Perancis pada abad ke-17 bernama Rene Descartes. Aku dimaksud tak hanya sekadar aku sebagai ego. Tapi aku sebagai entitas (manusia) dengan semua potensi dan kapasitas mahadahsyat yang mampu menaklukkan sang jagad.

Berfikir dimaksud tak hanya yang bersifat pragmatis, apalagi materialistik. Tapi berfikir dalam arti filosofis dan intelektual yang salah satu tandanya mengedepankan kepentingan umum (daripada kepentingan golongan dan individu), keilmuan (daripada ketidaksengajaan), ke-akal-an (daripada akal-akalan apalagi otot-ototan), kebangkitan (daripada keterpanaan), kemajuan (daripada kemunduran) dan tema-tema besar lainnya. Dan ada dimaksud tak hanya sekadar ada (wujud). Sebab ada bisa sama dengan tiada, seperti kata pepatah Arab (wujuduhu ka‘adamihi). Tapi ada yang sederajat dengan semua potensi dan kapasitas mahadahsyat yang dimiliki manusia.

Inilah tradisi intelektualisme yang senantiasa hidup dari masa ke masa, khususnya di lingkungan perguruan tinggi dan kota-kota besar, termasuk di Indonesia. Sesuai dengan bidang masing-masing, para mahasiswa ataupun para aktivis intelektual penuh semangat membahas dan memperbincangkan tentang pemikiran-pemikiran besar. Bahkan tak jarang peliknya pembahasan yang ada sampai mencuat ke ruang publik melalui “pojok-pojok” yang disediakan oleh media, khususnya media cetak.

Dalam beberapa waktu terakhir, pembahasan tentang pemikiran dan diskursus besar sebagaimana di atas tampak mulai sepi. Termasuk di lingkungan perguruan tinggi yang belakangan mulai tampil dengan bagunan megahnya. Kota-kota besar seperti Jakarta pun lebih dipenuhi dengan mobil-mobil mewah dan gedung pencakar langit, tapi miskin dan sepi dari pemikiran-pemikiran besar.

Hal yang jamak terjadi adalah fenomena pragmatisme yang mengedepankan kepentingan golongan atau bahkan individu. Sangat ironis karena pada tahap tertentu fenomena ini juga melanda dunia pendidikan yang ditandai dengan merosotnya geliat intelektualisme secara drastis.

Oleh karenanya, jangan heran bila status tinggi pendidikan seseorang tidak secara otomatis mencerminkan besar dan agungnya perbuatan orang yang bersangkutan. Faktanya, korupsi di republik ini justru dilakukan oleh orang-orang yang mempunyai gelar pendidikan menjulang tinggi. Bahkan juga oleh sebagian pihak yang sangat memahami arti buruk dan keharaman korupsi.

Sejatinya tradisi intelektualisme tetap dipertahankan dan dikembangkan, khususnya di dunia pendidikan. Tidak hanya secara wacana, melainkan juga dalam bentuk perbuatan yang menjadi teladan bagi masyarakat luas. Hingga kehidupan berbangsa dan berngera tidak semakin dalam terjerumus ke jurang pragmatisme dan materialisme.

Semua pihak sejatinya mendukung penuh tegaknya bangunan intelektualisme, sesuai dengan kapasitas masing-masing pihak. Seorang guru atau dosen, contohnya, bisa menegakkan bangunan intelektualisme dengan menjadi teladan intelektual sejati bagi anak dididknya. Pun demikian dengan anak didik. Mereka bisa menegakkan bangunan intelektualisme dengan terus mengkaji pemikiran-pemikiran besar demi tegaknnya peradaban kemanusiaan yang lebih besar ke depan. Begitu juga media dengan memberikan ruang bagi pengembangan intelektualisme.

Hal ini sangat penting untuk dilakukan secara bersama-sama. Bila tidak, bukan tidak mungkin menurunnya semangat intelektualisme seperti sekarang akan menjadi sakarataulmaut intelektualisme yang akan menguburkan nilai-nilai keadaban, keilmuan, keluhuran, kemanusiaan dan nilai-nilai agung lainnya.

Sumber:Lazuardi Birru

Tidak ada komentar:

Posting Komentar