Senin, 15 Juli 2013

MODEL KAUM HEDONISME DALAM MENYIKAPI KEHIDUPAN DUNIA

 


Kaum hedonisme adalah manusia yang memandang bahwa perbuatan apa saja yang mendatangkan kepuasan, kelezatan dan kenikmatan seksual dalam hidup ini adalah baik dan perlu dilakukan. Manusia jenis ini mengukur kesuksesan hidup, kelayakan, kepantasan, baik, indah, perlu, penting dalam hidup semata-mata dengan materi. Mereka menjadi budak materi. Manusia serupa ini hidup dengan tidak mendengarkan pertimbangan akal sehat, pemikiran yang jernih, suara nurani, dan jeritan batin. Semuanya tertutup oleh kepentingan perut dan kepentingan di bawah perut. Lebih jauh Al-Qur`an menegaskan:

“Dan sesungguhnya Kami (Allah)  telah mempersiapkan banyak calon penghuni neraka jahannam dari kalangan jin dan manusia. Mereka adalah orang-orang yang mempunyai akal budi tetapi tidak digunakan untuk memahami dan menghayati agama; mereka mempunyai mata tetapi tidak digunakan untuk melihat tanda-tanda kekuasaan Allah; dan mereka pun mempunyai telinga tetapi tidak digunakan untuk mendengar peringatan Allah. Mereka seperti binatang, bahkan lebih sesat dari binatang. Mereka adalah orang-orang yang lalai” (Al-A’raf: 179).

Mereka menganut faham materialisme-sekularistik, hanya memikirkan soal materi, tidak percaya kepada kehidupan akhirat. Mereka pun menjadikan materi sebagai satu-satunya standar penilaian untuk mengukur kesuksesan dan kegagalan dalam  menjalani kehidupan ini. Manusia serupa ini kehilangan keseimbangan dalam hidupnya antara kepentingan dunia dan akhirat. Keadaan ini akan mencelakakan dirinya di dunia maupun di akhirat.

Dalam memasuki lembaran pertama milenium baru, yang dinyatakan sebagai abad penuh persaingan, ketegangan, goncangan, gejolak, dan ketidak-pastian; Al-Qur`an memberikan bimbingan kepada setiap insan yang beriman. Pertama, hendaklah setiap pribadi kita berani mengevaluasi keadaan dirinya masing-masing dengan jujur. Mengakui kesalahan, kekeliruan, kelalaian, kemalasan, pelanggaran, dosa, dan perbuatan maksiat yang mungkin pernah kita lakukan, baik secara sengaja atau tidak, dengan kesadaran atau pun keterpaksaan di hadapan keagungan dan kemurahan Allah, sambil memohon ampunan dan kasih sayangnya. Seraya menyatakan kebulatan tekad untuk menanggalkan dan meninggalkan kebiasaan lama yang buruk, dan menukarnya dengan cara pandang yang baru yang diridhoi Allah. Kedua, menyusun perencanaan untuk memperbaiki dan meningkatkan kualitas hidup, sambil menatap zaman baru dengan sikap optimis atas karunia Allah. Al-Qur`an menyatakan:

 “Wahai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah dan hendaklah tiap-tiap pribadi memperhatikan apa yang dipersiapkan untuk hari esok (masa depan), dan (sekali lagi) bertaqwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. Dan janganlah kamu seperti orang-orang yang melupakan Allah, maka Allah pun menjadikan mereka lupa pada diri mereka sendiri. Mereka itulah orang-orang yang fasik” (Q.S. al-Hasyr: 18-19).

Manusia yang melupakan Tuhan akan dilupakan Tuhan. Manusia yang dilupakan Tuhan akan mengalami dehumanisasi (tercabut dari akar-akar kemanusiaannya). Manusia yang melupakan Tuhan adalah manusia yang berani hidup tanpa kedalaman iman, ketajaman berpikir, kepekaan intuisi, kekohohan keyakinan, keluasaan wawasan, dan keteguhan sikap. Manusia serupa ini akan mengalami goncangan batin yang dahsyat, mudah terombang-ambing, terbawa arus, dan menjadi bangsa yang rapuh. Tidak dapat menghormati manusia sebagai manusia, tidak dapat dipercaya, tidak dapat menegakkan hukum dan keadilan, tidak ada kejujuran di dalam hidupnya.

Melalui pelatihan mental dan fisik pada bulan suci Ramadhan, kaum Muslimin dikader sedemikian rupa agar dapat meningkatkan kualitas dirinya kepada tingkatan muttaqin, yang senantiasa menjaga dirinya dari mental dan watak kebinatangan. Beberapa watak kebinatang masih tetap ada pada diri manusia, tetapi hal itu difungsikan sebagai sarana untuk beribadah dan mendekatkan diri kepada Allah.

Adapun fithr dalam arti kesucian tiada lain, bahwa ‘Idul Fitri mengandung pernyataan dan keinginan kita untuk kembali kepada kesucian. Suci, menurut sementara pakar adalah gabungan dari tiga hal, indah baik, benar. Mencari keindahan menghasilkan hidup yang menghargai seni. Alam adalah karya seniman agung yang tiada tertandingi. Allah menciptakan manusia, langit, bumi, lautan dan daratan, serta flora dan fauna, dalam suatu simponi agung yang begitu serasi, indah penuh pesona. Merasakan keindahan yang hakiki, adalah ketika kita tadabbur alam, merawat, melestarikan, dan mencintai alam, seraya merasakan keagungan Allah dengan keheningan fikiran dan kepekaan intuisi; dengan fikir dan dzikir yang menembus kedalam sukma insani dan terpaut dengan Khâliq al-’آlam, Allah SWT.

Sementara itu, mencari kebaikan menghasilkan hidup dengan kesadaran menjunjung tinggi akhlak dan etika. Kesucian hanya dapat diwujudkan dengan hidup yang berakhlak, dan hidup yang berakhlak hanya dapat diraih dengan kesucian hati. Kita sewaktu lahir terbebaskan dari segala dosa dan noda, kita ingin kembali kepada kehidupan tanpa noda dan dosa. Kita bertobat, memohon ampunan kepada Yang Maha Suci, Maha Indah, lagi Maha Benar. Mencari kebenaran menghasilkan hidup dengan kesadaran mencari ilmu dan menjadikan ilmu landasan untuk beramal sehingga membuahkan komiten moral yang terukir dalam diri kita: ilmu amaliah amal ilmiah. Ilmu untuk menopang kualitas amal dan beramal dengan berdasarkan ilmu.

Mengamalkan agama secara kaffah, yakni secara lengkap dan sempurna dalam bentuk kesalehan individu dan kesalehan sosial merupakan pesan pokok Al-Qur`an untuk melindungi kita dari kemungkinan terjerumus ke dalam model kehidupan kaum hedonisme. Dengan keyakinan tauhid yang lurus, amal ibadah dan amal sosial yang ikhlas, serta ditopang dengan pengembangan wawasan keilmuan yang luas dan mendalam kita dapat mengembangkan kualitas ketaqwaan yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan. Kita pun akan menjadi manusia yang senantiasa dekat dengan Allah dan jauh  dari watak-watak kebinatangan. Ketika kita mengumandangkan takbir, tahmid, dan tahlil memuji Allah dalam melakukan shalat lima waktu maupun ketika menunaikan ibadah haji dan umrah; kemudian menyempurnakan ucapan takbir, tahmid dan tahlil dalam ibadah mahdhah itu dengan berbagai amal sosial dan kemanusiaan, maka sesungguhnya kita sedang menyatakan deklarasi kebulatan tekad untuk kembali kepada agama yang benar, agama tauhid yang lurus kepada Allah dan agama yang bertanggung jawab atas persoalan manusia dan kemanusiaan sehingga kita dapat meningkatkan kualitas diri kita, dekat dengan Allah serta peduli dan berbuat untuk sesama umat manusia. Wa Allah  a’lam bi al-shawwab.

Sumber: Lazuardi Birru

Tidak ada komentar:

Posting Komentar