Senin, 15 Juli 2013

Menaati Negara dalam Berpuasa


Sudah menjadi kebiasaan yang mengganggu kebersamaan, penetapan hari awal dan akhir bulan puasa senantiasa berbeda-berbeda di kalangan ormas Islam. Sebagian menentukan dan merayakan pada hari tertentu. Sedangkan sebagian yang lain menentukan dan merayakan pada hari yang berbeda.
Sangat ironis, karena segenap perbedaan ini terjadi di saat negara (melalui pemerintah) mengeluarkan keputusan terkait dengan awal dan akhir bulan puasa. Tak heran bila perbedaan yang ada terkesan bernuansa pembangkangan terhadap keputusan negara. Walaupun kesan tersebut senantiasa ditolak oleh mereka yang mengeluarkan keputusan berbeda dengan ketetapan negara.

Alasan utama yang dijadikan pegangan oleh masing-masing pihak adalah perbedaan ijtihad, terutama dalam hal metodologi penetapan hilal (tanggal) yang selama ini dikenal dengan motode rukyah (melihat) dan hisab (hitungan).

Secara normatif, penentuan awal dan akhir bulan puasa merupakan otoritas negara. Hal ini sesuai dengan salah satu ayat Al-Quran yang mengharuskan umat Islam patuh kepada ketetapan ulil amri atau negara (athi’u allaha wa ar-rasul wa ulil amri minkum).

Hal ini diperkuat oleh Hadis Nabi Muhammad SAW terkait dengan awal dan akhir puasa. Hadis dimaksud berbunyi, berpuasalah kalian semua dengan melihat hilal dan berbukalah kalian semua dengan melihat hilal (shumu li ru`yatihi wafthuru lirau`yatihi).

Harus diperhatikan, secara redaksional Hadis di atas ditujukan kepada seluruh umat Islam (kalian semua). Artinya, berdasarkan Hadis tersebut masing-masing umat Islam berkewajiban melihat hilal secara langsung untuk memulai dan mengakhiri puasa di bulan Ramadhan.
Namun karena keterbatasan yang dimiliki, masing-masing umat Islam hampir mustahil bisa melihat bulan secara langsung dan secara personal. Kalaupun dilakukan, hal ini dipastikan akan menimbulkan kekacauan akibat perbedaan-perbedaan yang terjadi.

Di sinilah dibutuhkan adanya otoritas/lembaga yang secara mufakat mewakili dan bertindak atas nama masyarakat (termasuk di dalamnya umat Islam). Lembaga/otoritas tersebut tak lain adalah negara. Karena negaralah yang secara fungsional menjalankan apa yang tak mampu dilakukan oleh masyarakat secara personal.

Dengan demikian, otoritas dalam menentukan awal dan akhir bulan puasa sesunggunya berada di tangan negara, bukan di tangan lembaga lain di luar negara. Karena hanya negara yang secara mufakat mewakili dan bertindak atas nama masyarakat.

Semua pihak sejatinya tunduk dan mengikuti ketentuan negara. Hingga tidak ada perbedaan dalam penentuan awal dan akhir bulan puasa. Apalagi perbedaan yang ada terjadi antara negara dengan lembaga-lembaga yang berada di bawah naungannya sendiri. Hingga tak ada lagi hiruk-pikuk terkait dengan penetapan awal dan akhir bulan puasa.

Sumber: Lazuardi Birru

Tidak ada komentar:

Posting Komentar