Tahun 2012 terasa istimewa bagi warga Muhammadiyah. Pasalnya, sejak
didirikan pada 1912 oleh KH. Ahmad Dahlan, organisasi ini terhitung
genap berusia satu abad. Memang kemeriahan satu abad Muhammadiyah dalam
hitungan Masehi ini tidak melebihi pelaksanaan Muktamar Muhammadiyah
ke-46, yang sekaligus menyambut satu abad Muhammadiyah dalam hitungan
kalender Hijriah, yang telah dilaksanakan dua tahun lalu di tanah
kelahirannya, Yogyakarta. Meskipun demikian, usia seratus tahun berkarya
untuk Indonesia tahun ini tetap sarat makna dan sangat berkesan bagi
warga Muhammadiyah.
Sebagai komponen bangsa, berjalan 100 tahun membangun peradaban
masyarakat Indonesia merupakan rekor tersendiri bagi Muhammadiyah. Baik
pada periode sebelum kemerdekaan maupun pada era merdeka, organisasi
Islam yang moderat ini telah berjuang melahirkan kemaslahatan sosial
bagi Indonesia. Tercatat paling tidak bidang pendidikan, kesehatan,
filantropi, dan kesejahteraan sosial telah disasar badan atau amal usaha
milik Muhammadiyah. Pengamat Muhammadiyah, Mitsuo Nakamura, menyebutkan
bahwa kontribusi Muhammadiyah tidak terbatas hanya untuk umat Muslim,
tetapi juga masyarakat non-Muslim, dengan adanya sekolah dan rumah sakit
Muhammadiyah di Papua dan Nusa Tenggara Timur yang mayoritas
penduduknya non-Muslim.
Khusus dalam bidang pendidikan, setelah satu abad berkarya,
partisipasi Muhammadiyah dalam dunia pendidikan Indonesia sungguh patut
diapresiasi. Hingga kini, Mahammadiyah telah menyelenggarakan program
pendidikan dengan menyediakan 1132 SD; 169 Madrasah Ibtidaiyah (MI);
1184 SMP; 534 Madrasah Tsanawiyah (MTs); 511 SMA; 263 SMK; 172 Madrasah
Aliyah (MA); 67 Pondok Pesantren; 55 Akademi; 4 Politeknik; 70 Sekolah
Tinggi dan 36 Universitas yang tersebar di seluruh Indonesia
(Suara Muhammadiyah 05/95 1-15 Maret 2010).
Capaian yang luar biasa! Begitulah adanya, publik dan bangsa
Indonesia secara fakta telah tercerahkan oleh organisasi Muhammadiyah
melalui amal-amal usahanya di bidang pendidikan. Pendiri persyarikatan
ini, KH. Ahmad Dahlan, seolah-olah telah meramalkan bahwa pendidikan
adalah sarana yang efektif untuk menyebarkan perubahan dan pembaharuan.
Pendidikan Integral
Pada era kolonialisme, pola pendidikan yang dualistis masih terjadi
di Indonesia, yaitu adanya sistem pendidikan kolonial dan sistem
pendidikan Islam (pesantren). Pendidikan kolonial sangat berbeda dari
pendidikan Islam yang saat itu terkesan “tradisional”. Perbedaannya
tidak hanya dari segi metode, tetapi juga dari segi isi dan tujuan
pendidikan.
Sesuai dengan landasan politik yang dijalankan pemerintah Belanda,
tujuan sekolah-sekolah yang didirikan pemerintah Belanda juga
mencerminkan arah politiknya, yakni sekedar untuk memenuhi kebutuhan
tenaga kerja yang cukup terdidik. Pendidikan yang dikelola oleh
pemerintah kolonial, berorientasikan pada pengetahuan dan keterampilan
duniawi. Corak pendidikan tersebut sesuai dengan strategi politik
pemerintah kolonial Belanda yang ingin netral terhadap agama.
Sementara itu, pola pendidikan pondok pesantren yang dikelola oleh
umat Islam cenderung hanya mengajarkan pendidikan agama, dan seolah
mengabaikan ilmu-ilmu umum, sehingga santri sukar menyesuaikan diri
dengan perkembangan zaman. Di samping itu, secara umum pendidikan di
pondok pesantren tidak mengenal kelas dan lama belajar sehingga murid
terkesan terlalu lama menuntut ilmu sedang kontribusi pengamalan ilmunya
untuk masyarakat kurang.
Dua model pendidikan yang saling bertolak belakang itu menandakan
adanya krisis dalam dunia pendidikan. Pemisahan antara ilmu agama dan
ilmu umum membawa dampak negatif pada keduanya. Pendidikan agama yang
menjadi domain pendidikan pesantren dan ilmu umum yang dikembangkan di
bawah kekuasaan politik pemerintah kolonial selain berakibat pada krisis
relevansi juga mengakibatkan kebuntuan paradigmatis pada keduanya.
Di satu sisi, ilmu agama ketika dilepaskan dari ilmu umum akan
kehilangan kontektualitasnya dalam kehidupan. Sedangkan ilmu sekuler
jika dilepaskan dari ilmu agama akan kehilangan pegangan nilai dan
spritiulitas. Dengan kata lain, agama tanpa diresapi oleh ilmu akan
kehilangan fungsi dan perannya dalam kehidupan, dan ia hanya bermakna
secara simbolis-ritualisme belaka. Sementara bagi ilmu umum, dikotomi
dari agama hanya akan menjadikan status seorang ilmuan tidak jauh
berbeda dengan robot, yang asing dari pertimbangan nilai dan moralitas
terhadap apa yang ia kerjakan dan dampaknya bagi kehidupan manusia.
Tanpa pegangan nilai, ilmu yang pada awalnya adalah ciptaan manusia
berbalik memperbudak manusia.
Berangkat dari keprihatinan untuk menjadikan Islam semakin
kontekstual dan menjadikan ilmu beretika, KH. Ahmad
Dahlan menyelenggarakan pendidikan dengan menggabungkan kurikulum pondok
pesantren dengan kurikulum sekolah Belanda (modern), dengan porsi
pendidikan agama yang cukup. Cita-cita pendidikan yang digagas KH. Ahmad
Dahlan adalah lahirnya generasi bangsa yang mampu tampil sebagai
“ulama-intelek” atau “intelek-ulama”, yaitu seorang Muslim yang memiliki
keteguhan iman dan ilmu yang luas, kuat jasmani dan rohani.
Dalam rangka mengintegrasikan kedua sistem pendidikan tersebut, KH.
Ahmad Dahlan melakukan dua tindakan sekaligus. Beliau memberi pelajaran
agama di sekolah-sekolah Belanda yang sekuler, dan mendirikan
sekolah-sekolah sendiri di mana agama dan pengetahuan umum bersama-sama
diajarkan. Metode pembelajaran yang dikembangkan KH. Ahmad Dahlan
bercorak kontekstual melalui proses penyadaran. Contoh klasiknya adalah
ketika KH. Ahmad Dahlan menjelaskan Surat Al-Ma’un kepada
santri-santrinya secara berulang-ulang sampai para santri menyadari
bahwa aksi nyata menyelesaikan persoalan sosial sangat dipentingkan
dalam agama. Mendalami ilmu agama tanpa mampu memecahkan masalah yang
membelit masyarakat sama saja berarti mengkhianati agama.
Dasar filosofis yang dikembangkan oleh KH. Ahmad Dahlan ini pada masa
berikutnya mewujud menjadi latar belakang berdirinya sekolah semi
pondok pesantren; Madrasah Muallimin Muhammadiyah dan Madrasah Muallimat
Muhammadiyah di Yogyakarta. Saat itu KH. Ahmad Dahlan melakukan
pembaruan yang masih dipandang aneh bagi kalangan umat Islam, yaitu
sekolah menggunakan bangku dan kursi, murid-muridnya diperbolehkan
latihan drumband dan menggunakan celana panjang serta dasi. Setelah
Indonesia bergerak menjadi negara berkembang, SD, SMP, SMA dan perguruan
tinggi Muhammadiyah mulai bermunculan. Lembaga pendidikan Muhammadiyah
dari berbagai tingkat satuan pendidikan tersebut sangat membantu
pemerintah mencerdaskan kehidupan bangsa.
Dari perjuangan KH. Ahmad Dahlan, yang patut diteladani oleh generasi
penerus bangsa masa kini adalah semangat untuk melakukan perombakan
atau etos pembaruan atas kemandegan pemikiran. Yang harus ditiru adalah
perjuangannya melakukan perubahan bukan bentuk atau hasil ijtihadnya.
Semangat pendidikan yang dipakai Muhammadiyah sejak pertama kali
didirikan pada 1912 adalah pembaruan. Semangat pembaruan ini
didengungkan KH. Ahmad Dahlan ketika merintis sekolah untuk “menandingi”
sekolah Belanda yang mengarahkan siswanya untuk menjadi mandor atau
tukang. Sekolah yang dirintis Dahlan bukan sekedar memberi tambahan mata
pelajaran agama Islam, melainkan lebih jauh dari itu, menanamkan
nilai-nilai kebangsaan dan kejuangan, serta mengangkat martabat manusia
Indonesia.
[1]
Semangat pembaruan sesungguhnya juga yang menjadi folosofi dasar
keberadaaan Muhammadiyah. Tafsir pendidikan KH. Ahmad Dahlan telah
menjadikan Muhammadiyah tampil sebagai lembaga pendidikan Islam yang
melakukan perubahan sosial dan memberi kemanfaatan kepada masyarakat
dengan semangat pembaruan.
Dengan spirit pembaruan, apa yang dilakukan KH. Ahmad Dahlan dalam
bidang pendidikan itu adalah upaya untuk memadukan atau mengintegrasikan
dua keilmuan, ilmu agama dan ilmu umum. Model pendidikan integral yang
mampu menggabungkan aspek keagamaan dan keduniaan itu diharapkan
melahirkan generasi Muslim yang ulama dan sekaligus intelek.
Integrasi dua ranah keilmuan tersebut sangat penting karena agama
tanpa ilmu menjadikannya semakin termitoskan, dan ilmu tanpa panduan
agama menjerumuskan kehidupan manusia ke jurang kehancuran.
Tantangan Pendidikan di Abad Kedua
Setelah satu generasi berdiri, partisipasi Muhammadiyah dalam dunia
pendidikan akan dihadapkan pada dua hal. Di satu sisi, perasaan bangga
menyelimuti para warganya mengingat persyarikatan ini telah mendirikan
dan mengelola banyak lembaga pendidikan, menciptakan ribuan guru dan
dosen, dan mencerdaskan jutaan anak didik. Tetapi di sisi lain, anggota
Muhammadiyah juga patut prihatin ketika melihat tren kualitas pendidikan
Muhammadiyah cenderung mengalami disorientasi. Sekolah-sekolah
Muhammadiyah masih banyak yang “kurang terurus”, terutama di daerah.
Kualitas pendidikan di sekolah atau kampus Muhammadiyah juga banyak
dicibir masyarakat sebagai pendidikan level dua yang tidak mampu
bersaing dengan sekolah negeri dan sekolah favorit lainnya. Hal ini
menjadi tantangan sekaligus tugas pimpinan dan seluruh warga
Muhammadiyah untuk memperbaiki kualitas pendidikan Muhammadiyah.
Menurut hemat penulis, sumbangan penting dari pendidikan
Muhammadiyah, yakni integrasi ranah agama dan keilmuan harus
dilestarikan dan dikembangkan dalam menapaki abad kedua Muhammadiyah.
Pada akhirnya, yang lebih penting dari perayaan satu abad adalah
menemukan kembali dan reformulasi terhadap identitas Muhammadiyah
sebagai gerakan pembaruan pendidikan untuk abad kedua. Semangat
tafsir Al-Ma’un
yang menjadi ruh reformasi keagamaan di tubuh Muhammadiyah perlu
mendapat reformulasi pada dimensi epistemologi dan praktik pendidikan
yang konkret. Cita-cita mewujudkan “
masyarakat Islam yang sebenar-benarnya” dan meraih
”peradaban unggul”
juga perlu dioperasionalkan dengan ukuran empiris, terutama melalui
pendidikan. Inilah tantangan nyata bagi pendidikan Muhammadiyah dalam
memasuki abad kedua, yakni sejuah mana Muhammadiyah mampu menjadi
pemecah problem pendidikan di Indonesia dengan semangat pembaruan dan
semangat menyelaraskan ilmu dengan Alquran dan sunnah.
Sumber:
Lazuardi Birru