Kamis, 05 Desember 2013

Teologi Islam Untuk Bangsa


A. Pendahuluan
Problematika kehidupan manusia selalu berkembang dan tidak pernah surut. Seiring dengan perkembangan kehidupan manusia, hukum dan teologi Islam juga berkembang terus untuk memecahkan problema tersebut. Sementara junjungan kita Nabi Muhammad Saw yang menjadi panutan sekaligus penentu (pemutus). kebijakan (hukum) telah tiada. Lebih-lebih jika merujuk pada teks ketentuan-ketentuan tekstualnya sangat terbatas. Hal ini selaras dengan pernyataan para ulama yang mengatakan bahwa: (peristiwa-peristiwa tidak terbatas, sedangkan nas bersifat terbatas). Oleh karena itu, kegiatan untuk mencari dan memecahkan masalah – sesuai dengan fitrah manusia tidak bisa dibendung. Dengan kata lain, kegiatan dan proses melakukan ijtihad atau ziarah intelektual dan proses memahami teks sebagai sumber hukum dan teologi yang humanis tidak bisa dihalangi. Proses dan kegiatan ini dilakukan sebagai upaya untuk memecahkan masalah kehidupan manusia yang selalu berkembang secara dinamis. Dalam konteks ini lebih tegas lagi dinyatakan oleh ulama dengan statement fiqh yang justeru memberi justifikasi dan legitimasi terjadinya perubahan hukum atau teologi sebagai sandaran (kerangka filosofis ) khalifatullah didasarkan pada ruang dan waktu.
Tentunya penulis tidak kemudian ingin membicarakan hukum Islam secara universal dari beberapa hal yang menjadi perdebatan dikalangan pemeluknya namun yang jauh lebih penting dari itu adalah secara tegas penulis ingin mengemukakan bahwa pemahaman teologis masih menyisakan doktrin kaku yang cukup sulit untuk harmoni dalam perbedaan demi menemukan kesejahteraan sebagai happy ending dari sebuah wujud teologis yang humanistik transformatif, dan yang lebih disayangkan truth claim telah mengkotak-kotakkan kesempatan dan harapan umat manusia hingga kehilangan jati dirinya sebagai pengelola bumi yang memang menjadi tugas utama dilahirkannya makhluk yang bernama manusia ini. Salah satu ciri mendasar teologi inklusif adalah memberikan formulasi bahwa Islam itu merupakan agama terbuka (open religion). Keterbukaan bahkan merupakan sikap yang harus dianut umat Islam. Sikap ini harus lebih ditonjolkan, mengingat kondisi umat Islam dan masyarakat dunia yang pluralis. Dalam masyarakat yang demikian umat Islam seharusnya bisa memberikan teladan sebagai mediator atau penengah (wasith) antara berbagai kelompok umat manusia dan diharapkan untuk menjadi saksi yang adil dan fair dalam hubungan antar kelompok itu. Pada tataran tersebut diatas ketika merumuskan konsep-konsep Islam yang universal berarti kita harus cerdas dalam mendemontrasikan bahasa-bahasa Al-Quran yang bersifat metafisis dan intuitif menjadi bahasa-bahasa yang empiris objektif dan sistematis. Yang paling penting adalah tidak menutup mata atas realitas yang ada.
Alangkah lebih arifnya kita memetakan perkembangan dinamika teologis ini agar menjadi sesuatu yang membumi di era modern reformasi dan melahirkan kesejahteraan yang juga pastinya rukun dalam perbedaan.
1. Perjumpaan Teologi Islam Pra Modern (Klasik)
Sejarah telah membuktikan bahwa kehidupan kanjeng Nabi Muhammad SAW adalah era dimana teologi disampaikan oleh sang utusan Tuhan sendiri, mengungkap sisi-sisi kebenaran dari teologi adalah sesuatu hal yang tidak asing bagi orang yang hidup di zaman ini, karena memang pada dasarnya Muhammad sebagai seorang panglima spiritual telah mengejawantahkan kehidupan teologi dalam alam empiris hingga berjumpa dengan Tuhan yang empirik, tidak hanya sekedar Tuhan konsepsi, apalagi Tuhan persepsi, Tuhan Empirik yang kelak membentuk pribadi manusia yang kuat, mandiri, kreatif, dan penuh harapan. Tuhan Empirik membuat manusia sehat secara spritual. Pengalaman perjumpaan dengan Tuhan adalah pengalaman yang bermakna peradaban yang memacu kreatifitas manusia untuk mewujudkan kehidupan yang lebih baik, lebih sejahtera dan lebih manusiawi, penuh harmoni dan tidak merusak lingkungan. Tuhan Empirik itu, ia bersemayam dalam ruh manusia dan menjadi inti spiritualitas, mungkin tidak berlebihan jika saya mengutip sebuah pernyataan sufistik “Aku di dalam Dia dan Dia di dalam Aku”, yang dimaksud, bahwa Tuhan itu masuk dan inheren dalam diri manusia dan menjadi komponen paling utama dari tindakan baik manusia.
2. Teologi Islam era Modern
Salah satu alasan mengapa agama tampak tidak relevan pada masa sekarang ini adalah karena banyak diantara kita tidak lagi memiliki rasa bahwa kita dikelilingi oleh yang gaib. (Karen Amstrong)
Mengapa kita harus membicarakan tentang Tuhan, bukankah Tuhan itu adala sesuatu yang sudah given, yang sudah harus kita terima begitu saja. Kita percaya bahwa Dia ada, dan kepercayaan ini sudah lebih dari cukup, pertanyaan ini adalah pernyataan sebagaimana dipegang oleh pendukung argumen ontologis bahwa Tuhan itu ada secara apriori. Kita tidak perlu bukti dan membuktikan bahwa Tuhan itu ada, namun perkembangan ilmu pengetahuan dan sesuai arus kritis manusia modern mengatakan pertanyaan dan pernyataan ini tidak sepenuhnya salah. Persoalannya, setiap pembicaraan spiritualitas harus mendapat kejelasan eksistensi Tuhan dalam hal ini. Karena jika tidak jelas, maka spiritualitas ini tak akan berbeda jauh dengan spiritualitas dalam bayang-bayang psikologi humanistik.
Kalau kita mengklaisifikasikan era agama dalam perkembangan pemikiran manusia maka tidak heran kenapa hidup di saat sekarang ini membutuhkan pemahaman yang lebih utuh dan holistik dari berbagai disiflin ilmu untuk menemukan spiritualitas karena tanpa dorongan ilmu yang lain dalam hal ini ilmu umum, Amin Abdullah dalam sebuah wawancara yang dilakukan oleh salah satu media Nasional yaitu Republika menyatakan bahwa awalnya agama hanya dipahamai sebatas tekstualis dengan penghayatan konteks dizaman ayat itu diturunkan, kemudian bermuara kepada sikap kritis dan mencoba menggeluti secara lebih serius arti pentingnya sebuah ajaran atau dogma dengan penalaran yang lebih filosofi dengan pendekatan humanistik, salah satu satu konsep KeTuhanan atau spiritualitas dalam menelaah Tuhan itu sendiri adalah berperspektif kedokteran dengan memilih neurosains sebagai pendekatan ilmu yang lebih ilmiah dan modern.
3. Teologi Islam Postmodern
Islam itu untuk maslahat manusia, bukan untuk Tuhan. Islam itu ada janjinya kepada manusia, rahmatan lil ‘alamin, namun karena Islam atau agama itu sesungguhnya adalah untuk manusia bukan manusia untuk agama maka yang menjadi subjek dalam kehidupan beragama ini adalah tentunya manusia, untuk menciptakan progresifitas agama (Islam) itu, maka kita harus menghadirkan gerakan sosial, kemanusiaan dan science dalam ruang teologi hingga teologi dapat membaca realitas kehidupan yang penuh gejolak, dinamika dan pertentangan yang tidak manusiawi. Sehingga dapat dipastikan out put dari gerakan teologis dapat berinteraksi dengan kehidupan manusia.
B. Teologi Islam dan Harmonisasi Bangsa
Doktrin agama Yahudi, Nasrani, dan Islam telah mengajarkan prinsip-prinsip tingkah laku tentang kewajiban orang-orang berada atas orang-orang yang membutuhkan bantuan tanpa pertimbangan kepentingan pribadi dan politik. Pemberian bantuan kepada orang lain sebaiknya dilakukan tanpa banyak pertimbangan dan harus segera dilakukan. Tentunya implikasi sosial dari teologi yang universal ini akan mampu menjawab kebutuhan manusia yang hidup di era kegelisahan dan kesenjangan antara pemimpin dengan masyarakat yang hidup dipinggiran. Mengutip pendapat seorang filsuf Perancis, Andre Malraux, yang meramalkan bahwa abad ke-21 akan merupakan abad agama. pendapat Malraux ini sejalan dengan pendapat A. Mukti Ali yang menyatakan bahwa “Jika kita boleh memperhatikan keadaan agama di Indonesia khususnya, dan di dunia umumnya, pada masa depan, katakanlah satu dekade pertama abad ke-21, maka kita akan mengatakan bahwa akan dirasakan oleh umat manusia sebagai suatu hal yang makin penting. Dihari-hari yang akan datang, umat manusia akan merasakan bahwa agama adalah sesuatu yang sangat mereka perlukan”. Hal ini lebih disebabkan, bahwa tidak sedikit umat manusia yang merasa gelisah menghadapi pemerintahan yang dzalim, ekonomi dan kesempatan kerja yang semakin sulit, dan kerusakan ekologi yang menjadikan kehidupan kurang sehat. Dalam keadaan seperti itulah, pesan-pesan agama, baik perorangan maupun kelompok muncul kembali dan menjadi penting. Di era kegelisahan Indonesia modern ini banyak ketimpangan telah terjadi dimana-mana, problemantika kebangsaan kita tidak cukup memperhatinkan baik dari perspektif hukum, pendidikan, kemiskinan, kesehatan adalah penghias media setiap harinya.
Teologi modern harus peka terhadap permasalahan yang ada, karena teologi tidak lagi hanya sebatas Tuhan, Nabi dan Wahyu, tetapi ia harus memasuki ruang simulasi yang lebih kompleks, memanusiakan manusia, menghormati kebudayaan, patuh tunduk terhadap hukum, dan semangat science ataupun pendidikan merupakan pengembangan teologi yang harus dibumikan, ketika seseorang mengaku beragama, terlepas dari pada agama apapun dan aliran apapun, harus menyadari bahwa tujuan universal dari agama dan aliran adalah sebuah peradaban, kebahagiaan dan kesejahteraan. Mengingkari hal ini sama halnya mengingkari perjanjian primordial dengan Tuhan sang pencipta.
C. Penutup
Fenomena keTuhanan tampaknya merupakan fakta universal. Hal ini tidak saja dapat ditemukan pada masyarakat modern, tetapi juga masyarakat yang paling primitif sekalipun. Bahkan lebih dari itu, ide tentang keTuhanan dalam diri manusia oleh beberapa kalangan sudah dikategorikan bersifat naluriah (instinctive). Bagi sebagian kelompok yang lain, ide tentang keTuhanan merupakan tuntutan akal (the voice of reason). Mencintai Tuhan adalah mencintai segala ciptaan-Nya yang ada. Bukan cinta yang egoistik yang hanya untuk memenuhi hasrat romantisme berTuhan belaka. Pemahaman tentang teologi yang sebatas keTuhanan hanya mempersempit arti dan sisi Kebesaran dan titah Tuhan yang lain di bumi persada karena mungkin disatu sisi manusia beranggapan teologi kepada Tuhan cukuplah mempertanggungjawabkan perilakunya hanya kepada Tuhan dan bisa bertaubat, namun hubungan teologi yang berkaitan dengan manusia dan alam dengan tegas mempunyai konsekwensi pertanggung jawaban kepada makhluk lain selain manusia, dan dalam hal ini tentunya teologi universal dan penuh kedamaian ini akan melahirkan kesalehan social dan implikasi hidup yang lebih layak.
Sumber: Lazuardi Birru

Tidak ada komentar:

Posting Komentar