Jumat, 06 Desember 2013

Sufisme Perkotaan (Urban Sufisme)




“Tuhan menaburkan cahaya-Nya kepada segenap manusia. Bahagialah mereka yang telah menadahkan kain untuk menerimanya. Mereka yang beruntung tak akan melihat apa pun selain Tuhan. Tanpa kain cinta, kita kehilangan bagian kita. Karena cinta pahit berubah menjadi manis, karena cinta tembaga berubah menjadi emas. Karena cinta ampas berubah jadi sari murni, karena cinta pedih menjadi obat. Karena cinta kematian berubah jadi kehidupan, karena cinta raja berubah menjadi hamba”. Demikianlah kutipan yang penulis suguhkan untuk memulai sebuah ulasan ini, rangkaian kalimat penuh makna tersebut adalah ungkapan kata seorang tokoh sufistik kelahiran Persia yaitu Jalaluddin Rumi. Di dalam kehidupan kita ini tentunya ada banyak hal yang menjadi pelajaran, banyak hal yang sudah menyejarah, dan banyak hal yang sudah membuktikan kecintaannya terhadap sang Khalik yaitu Allah SWT. mereka tentunya tidak hanya sebatas merangkai makna untuk di anggap sebagai seorang yang penuh hikmah, di jadikan sebagai guru spiritual atau di anggap layak sebagai seorang pintar, maupun sebaliknya tidak ada tendensius bagi mereka yang mengina dan menyudukannya. Namun ada sesuatu hal yang murni jauh di balik jubahnya, mereka bergerak tanpa kepentingan untuk memulai sesuatu hal yang membuat mereka merasa damai, membuat diri merasa bahagia, dan menjadikan penghambaan mereka sesuatu hal yang tidak pernah sia-sia, kehidupan yang senantiasa di hujani keikhlasan dan butir-butir kesyukuran yang sangat teramat dalam.
Menjadi penting tasawuf itu karena tidak ada satupun manusia yang bisa lepas dari penyakit hati seperti riya, dengki, lalai dan lain-lain. Dalam pandangan Al Ghazali maka tasawuf lah yang bisa mengobati penyakit hati itu. Karena dalam ilmu tasawuf berkonsentrasi untuk selalu mengamalkan tiga hal dimana ketiga-tiganya sangat dianjurkan oleh al-Quran al-Karim. Pertama, selalu melakukan kontrol diri, muraqabah dan muhasabah. Kedua, selalu berdzikir dan mengingat Allah SWT, dan ketiga, menanamkan sifat zuhud, cinta damai, jujur, sabar, syukur, tawakal, dermawan dan ikhlas. Mungkin kita perlu mempertanyakan model tokoh sufistik ideal, maka jawabannya adalah Nabi Muhammad Saw. Akhlak nabi Saw merupakan acuan akhlak yang tidak ada bandingannya. Begitupun dengan ibadah, kepada Allah dan jiwa sosialnya yang sangat tinggi. Akhlak nabi Saw bukan hanya dipuji oleh manusia, tetapi juga oleh Allah SWT. Hal ini dapat dilihat dalam firman Allah SWT yang artinya: “Dan sesungguhnya kami (Muhammad) benar-benar berbudi pekerti yang agung”.(QS.Al Qalam:4) Tingkah laku nabi tercermin dalam kandungan al-Quran sepenuhnya. Dalam diri nabi Saw terkumpul sifat-sifat utama, yaitu rendah hati, lemah lembut, jujur, tidak suka mencari-cari cacat orang lain, sabar, tidak angkuh, santun dan tidak mabuk pujian. Nabi Saw selalu berusaha melupakan hal-hal yang tidak berkenan di hatinya, tidak pernah berputus asa dalam berusaha, dan yang paling penting adalah merasakan kehadiran TuhanNya selalu menyertainya . Oleh karena itu, Nabi Saw merupakan tife ideal bagi seluruh kaum muslimin, termasuk pula para sufi. Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT dalam surat Al-Ahzab ayat 21 yang artinya:”Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut nama Allah”.
Sampai disini penulis tidak ingin terjebak kepada pemahaman yang mungkin orang menganggap bahwa seorang sufi itu adalah orang yang sangat miskin, orang yang tidak memiliki tempat tinggal, orang yang malas, dan orang yang kumal penampilan atau cara berpakainnya, jika kita menganggap bahwa sufi itu adalah sesuatu hal yang kontroversial maka perlu kita luruskan karena memang pada dasarnya seperti penulis kemukakan di atas bahwa inti dari sufi itu adalah merasakan kehadiran Allah dekat dengannya, tidak berbuat serampangan, dan produktif pola kehidupannya. Seorang ahli sufi tahu serta menyadari betul bahwa kehidupannya tidaklah abadi, akan di minta pertanggung jawabannya, di tanya tentang sejauh mana ia bermanfaat ketika di dunia, maka sudah pasti orang yang mengamalkan kajian sufi orang yang senantiasa mengharap ridha Allah baik secara duniawi maupun ukhrawi. Tidak menjadikan dunia sebagai permainan dan senda gurau, akan tetapi dunia ia jadikan sebagai tempat menanam benih menuju tempat yang kekal abadi.
Mengingat kehidupan modern yang serba instan, kemajuan teknologi, komunikasi dan transportasi yang tidak bisa di bendung, maka sejauh itu juga tidak terlepas keberagaman pola kejahatan yang tercipta, mestinya orang baik yang berjiwa sufistik tidak harus tinggal di gunung, bertafakkur, hanya asyik beribadah sendiri, menjauhkan diri dari orang banyak serta tidak bertanggung jawab atas kekhalifahannya untuk mengelola bumi atau mengambil peran untuk mensosialisasikan kebenaran, meluruskan penyimpangan, tentu dalam hal ini harusnya menjadi percontohan karena ibadahnya yang takut, pengharapan, dan khusyuknya kepada Allah SWT. saat ini model sufi tidak mesti memakai jubah, serban, dan terompah, tapi sesuai dengan zaman yang mengitarinya tokoh sufi tentunya bisa saja memakai dasi, dan masuk ke ruang publik. model seperti ini tentunya bisa di terapkan dalam kehidupan modern, dan ini adalah solusi yang paling solutif di tengah hiruk pikuk perkotaan yang sudah mulai luntur jiwa sosial, keberagamaan, takut serta penghambaannya terhadap Allah SWT.  Sufisme perkotaan atau yang biasa disebut urban Sufism harus mampu menggambarkan nilai keberagamaan di berbagai dimensi termasuk sistem birokrasi, dunia bisnis, dunia kesehatan dan dunia pendidikan, jika hati kita sudah kering akan ketakutan, dan fenomena riya atau penyakit hati merajalela maka tidak akan ada lagi bisa kita temukan kebaikan-kebaikan yang sistemik, segala sesuatu itu menjadi kering, setiap manusia itu bertemu hanya karena urusan pribadi, manusia tercipta seolah sebagai robot, mesin pencetak yang tidak bisa membaca nurani, semuanya hanya sandiwara. Mungkin sepintas kita pernah berpikir, bagaimana mungkin orang-orang terdahulu (ulama) bisa mengarang ratusan buku, artikel, penemuan dan berbagai lintas disiflin ilmu, padahal bisa di pastikan kecanggihan teknologi ketika itu jauh dari pada era kekinian, maka jawabannya adalah seperti yang di sampaikan oleh Wakil Menteri Agama “Kitab Kuning merupakan hasil dari goresan hati, bukan buatan pikiran semata. Dalam kitab kuning ada tendensi kepasrahan dan keberkahan, bukan sekedar transformasi pengetahuan,” kata Nasaruddin Umar ketika membuka acara Temu Tokoh Agama (Ulama) Pendidikan Agama dan Keagamaan di Surabaya, Minggu (1/12/2013). Arti dari pemahaman ini adalah bahwa keikut sertaan Allah memudahkan segala cara, dan membuka pikiran serta hati kita untuk manfaat yang lebih besar.  
Ketahuilah bahwa kita hidup ini tidak sendiri, ada yang menciptakan dan ada yang diciptakan, ada hukum dan ada yang di hukum, begitu juga ada berbagai macam aturan dan bentuk untuk menciptakan manusia yang sempurna (al kamil), jika kita beriman dan bertakwa kepada Alalh maka Allah akan bukakan keberkahan dari pintu langit dan penjuru bumi. Jangan engkau mengharap sesuatu yang bukan milikmu, Allah akan memberikan kepadamu tanpa sepengetahuanmu baik cepat ataupun lambat. Jika engkau memaksa untuk mendapatkannya padahal itu bukan waktunya atau bahkan bukan milikmu, berarti kamu berbuat tidak sopan dan memaksa takdir-Nya.

Sumber: Lazuardi Birru

Tidak ada komentar:

Posting Komentar