Jumat, 21 Juni 2013

Korupsi: Pengkhianatan Akbar Atas Amanah Rakyat

 


Akhir-akir ini media massa ramai memberitakan kasus korupsi dari tingkat pusat sampai daerah. Nampaknya berita tentang kasus ini tak pernah sepi dari pemberitaan, dari kasus BLBI, skandal Bank Century, Hambalang, hingga yang terkini dugaan kasus suap Bupati Buol. Terjadinya korupsi merupakan suatu penyalahgunaan wewenang ketika otoritas ada pada pemegang wewenang itu. Dalam hal ini, jika dikaitkan dengan ajaran Islam, korupsi merupakan bentuk pengkhianatan terhadap amanah yang diberikan.

Kita bisa melihat bahwa banyak motif yang menyebabkan orang nekat melakukan korupsi. Korupsi dapat terjadi oleh sebab kepentingan politik, ekonomi ataupun budaya. Namun, naluri memperkaya diri dengan menghalalkan segala cara yang mendorong seseorang untuk korupsi selalu tidak terlepas dari adanya mental atau budaya “mencuri” yang mengalir dalam darahnya serta dikombinasikan dengan kesempatan untuk melakukan hal tersebut.

Jika kita menyimak dari berita yang tersiar di media massa, amat menyedihkan ketika mengetahui fakta bahwa sebagian terdakwa kasus korupsi adalah Muslim. Beberapa dari mereka bahkan mengenakan simbol-simbol Islam saat menjalani sidang di pengadilan.
Korupsi merupakan penyelewengan amanah yang sangat kejam. Perbuatan ini dapat menjamur tidak hanya di kalangan elit, pada tingkat rendah pun korupsi bisa saja terjadi. Seseorang yang nekat melakukan tindakan korupsi dapat dinilai terkategorikan lupa bahwa ada Allah yang mengawasinya dalam segala hal. Allah SWT berfirman:

“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Melihat” (QS. An-Nisa: 58).

Ayat ini menyatakan dengan jelas bahwa amanah harus diletakkan pada tempatnya atau disampaikan kepada yang berhak menerimanya. Amanah yang dimaksud dalam ayat tersebut bermakna umum yakni amanah dalam segala hal. Para sahabat Nabi Muhammad SAW seperti Barra’ bin ‘Azib, Ibnu Mas’ud, Ibnu Abbas, dan Ubai bin Ka’ab, sepakat bahwa amanah itu terdapat dalam segala hal baik urusan peribadatan maupun keduniawian. Amanah benar-benar mencakup segalanya. Dalam setiap aktivitas seperti dalam berwudhu, shalat, zakat, ukuran, timbangan, barang titipan, dan pekerjaan, amanah selalu melekat. Demikian pula seorang ulama tafsir, Al-Qurtubi, berpendapat bahwa amanah itu harus diserahkan atau disampaikan kepada orang yang berhak menerimanya baik orang yang berlaku baik maupun tidak. Dalam hal ini, segala tugas yang diberikan kepada seseorang merupakan amanah yang harus dijalankan dan disampaikan kepada yang berhak menerimanya, sedangkan pemegang amanah itu tak mempunyai hak untuk mengambilnya.

Korupsi dalam Pandangan Islam
Beragam istilah dalam Islam dapat dikaitkan dengan kejahatan korupsi. Korupsi dapat dikatakan suatu perbuatan curang untuk memperoleh sesuatu dan segala kecurangan erat kaitannya dengan kezaliman dan kebatilan. Bentuk perbuatan korupsi tidak terbatas pada penggelapan uang. Aksi suap-menyuap termasuk bagian dari tindakan korupsi, karena suap dilakukan demi melegalkan sesuatu yang tidak legal sehingga terjadilah upaya tutup mulut agar tidak mengungkapkan kebenaran sesungguhnya.
Penyuapan dalam Islam dikenal dengan istilah risywah. Kata risywah menurut kamus Alfadz Al-Islam yang ditulis oleh Deeb Al-Khudrawi, diartikan sebagai bribery (penyuapan). Dalam kamus tersebut juga disebutkan bahwa it’s forbidden in Islam. Kata-kata dalam kamus tersebut bukan isapan jempol semata. Perbuatan suap-menyuap memang sungguh terlarang dalam syariat Islam, bahkan dilaknat oleh Rasulullah SAW sebagaimana dijelaskan dalam hadis yang diriwayatkan dari sahabat Abdullah bin ‘Amr,
Rasulullah SAW melaknat penyuap dan yang menerima suap” (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi).
Dalam kitab Subulus Salam, ulama Al-Kahlani menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan laknat pada hadis tersebut adalah rahmat Allah akan dijauhkan dari pelaku suap dan penerimanya. Sedangkan maksud daripada suap adalah membelanjakan harta agar dapat memperoleh sesuatu dengan cara yang batil atau tidak sah (Subulus Salam: 3/43).

Selain perbuatan suap menyuap, kejahatan korupsi dapat pula berupa penggelapan harta yang dalam istilah ilmu fiqh disebut ghulul. Menurut Syeikh Al-‘Allamah Abdullah Al-Bassam dalam kitabnya Taudihul Ahkam, ghulul adalah pengkhianatan amanah atau penyelewengan dalam urusan harta rampasan perang atau selain daripada itu. Dalam hal ini, penggelapan harta yang status hak miliknya atas nama bersama merupakan pengkhianatan atas kepercayaan segenap pihak yang terlibat. Tentu saja di dalam Islam, hukum ghulul adalah haram dan merupakan perbuatan dosa besar. Dalil yang menerangkan ghulul adalah sebagai berikut.

Tidak mungkin seorang nabi berkhianat dalam urusan harta rampasan perang. Barangsiapa yang berkhianat dalam urusan rampasan perang itu, maka pada hari kiamat ia akan datang membawa apa yang dikhianatkannya itu, kemudian tiap-tiap jiwa akan diberi pembalasan tentang apa yang ia kerjakan dengan (pembalasan) setimpal”  (QS. Ali Imran: 161).

Ada beberapa hadis yang menjelaskan tentang perkara ghulul, salah satunya adalah yang berasal dari riwayat sahabat Abu Hurairah RA. Dalam hadis tersebut dijelaskan bahwa ia berkata, “Kami pergi bersama Rasulullah menuju Khaibar, Allah telah memberikan kami kemenangan dalam perang itu dan kami tidak mendapatkan harta rampasan perang dalam bentuk emas dan uang, kami mendapatkan rampasan perang berupa perabotan, makanan dan pakaian. Kemudian kami beranjak menuju suatu lembah bersama Rasulullah SAW yang ketika itu beliau bersama seorang budak laki-laki yang dihadiahkan dari seorang laki-laki  penderita penyakit kusta, laki-laki itu bernama Rafa’ah bin Yazid dari Bani Dhubayyib, ketika kami menuruni lembah, berdirilah budak Rasulullah itu dan menempati jalan yang ditempuh oleh Rasulullah SAW, lantas ia pun terkena panah sehingga ia mati dalam lembah itu, maka kami pun berkata, ‘Selamat! Baginya kesyahidan ya Rasulullah’, maka Rasulullah pun bersabda, ‘Sekali-kali tidak, demi jiwa Muhammad yang berada di tangan-Nya, sesungguhnya jubah yang ada padanya itu akan menjadi api yang membakarnya, jubah itu diperoleh dari harta rampasan perang ketika perang Khaibar sebelum ditetapkan bagiannya.’ Maka terkejutlah orang-orang lantas datang seorang laki-laki dengan membawa satu atau dua tali sandal seraya berkata, ‘Wahai Rasulullah, kudapati ini dari perang Khaibar, maka Rasulullah SAW bersabda, satu tali sandal itu dari api atau dua tali sandal itu dari api” (HR. Bukhari dan Muslim).

Muhammad Asy-Syaukani dalam kitabnya, Nail Al-Authar, menjelaskan bahwa budak yang bersama Rasulullah itu adalah Mid’am. Adapun jubah yang dikenakannya adalah sesuatu yang menyebabkan ia terjerumus ke dalam neraka demikian pula dengan tali sandal yang diambil dari rampasan perang (ghanimah) sebelum ditetapkan pembagiannya (Nail Al-Authar: 7/316).

Hadis yang telah disebutkan di atas merupakan dalil akan haramnya penggelapan harta yang bukan haknya. Apapun harta yang diselewengkan, berapa pun nilainya semua itu akan dimintai pertanggungjawabannya. Apa yang dimiliki secara tidak sah dapat menjerumuskan pelakunya ke dalam kemurkaan Allah. Sebagaimana yang telah dikemukakan pada hadis Bukhari dan Muslim di atas bahwa tali sandal yang nilai jualnya rendah dan seolah tidak berarti kelak dapat menjerumuskan pemiliknya ke neraka jika diperoleh dengan cara yang tidak sah.

Selain risywah dan ghulul, kejahatan korupsi dalam Islam dapat juga berwujud ikhtilas. Definisi ikhtilas adalah menyaring harta yang ada dalam anggaran negara dengan niat memiliki atau memanfaatkan sebagian harta tersebut baik secara terang-terangan maupun tersembunyi untuk kepentingan pribadi. Pengambilan harta yang bukan haknya merupakan perbuatan tercela, perbuatan semacam ini pun haram dilakukan karena termasuk memperoleh harta secara batil. Perbuatan ikhtilas tergolong perbuatan kriminal karena sama halnya dengan menipu dan menggelapkan hak kepentingan umum.

Penutup
Korupsi berkembang hingga membudaya di masyarakat ketika ketidakadilan semakin merajalela serta kondisi ekonomi negara melemah. Kemiskinan, ketidakadilan, mental curang, dan budaya hidup yang hedonis serta didukung dengan adanya kesempatan merupakan keniscayaan yang memancing siapa pun untuk melakukan korupsi baik dalam bentuk suap-menyuap atau penggelapan harta.

Pencegahan korupsi tidaklah cukup dengan mempidanakan para koruptor. Korupsi akan benar-benar terberangus dari masyarakat ketika kondisi-kondisi yang mengkondusifkan terjadinya perilaku korupsi, seperti ketidakadilan sosial dan ekonomi, dihilangkan dari masyarakat. Hal ini membutuhkan perjuangan seluruh elemen bangsa untuk turut andil mencerabut korupsi hingga ke akar-akarnya.
Para orangtua, guru, tokoh masyarakat, dan para pemimpin menduduki posisi penting dalam membina masyarakat berikut generasi penerus bangsa agar tertananamkan nilai-nilai kejujuran dan anti-korupsi dalam jiwa anak bangsa. Nilai kejujuran, keadilan, anti-korupsi, dan nilai kebaikan lainnya tidak lain dan tidak bukan didapatkan dalam agama. Tanpa agama, moral anak bangsa tidak bisa tegak dan berjalan lurus.

Apapun perbuatan yang dapat merugikan banyak pihak adalah suatu keburukan, termasuk korupsi, yang sangat berbahaya dan mengancam tatanan atau keteraturan kehidupan sosial masyarakat. Ketimpangan sosial meskipun akan selalu ada dalam masyarakat, harus selalu diupayakan agar tidak semakin melebar. Namun, jika korupsi menjamur menjangkiti para warga dalam suatu negara, kecemburuan sosial akan semakin ekstrem. Kalau sudah demikian, tidak hanya pihak tertentu yang dirugikan namun semua elemen bangsa ikut dirugikan. Hal ini merupakan penyakit yang sedini mungkin harus dicegah dan diberantas sampai pada tingkat akar rumput. Memegang prinsip amar maruf nahi munkar, korupsi adalah sebentuk kemungkaran yang harus dicegah oleh setiap umat. Semoga Allah melindungi kita dari segala kemungkaran.

Sumber: Lazuardi Birru

Tidak ada komentar:

Posting Komentar