Rabu, 26 Juni 2013

Hijrah: Tonggak Peradaban Islam



Bulan Dzulhijjah, bulan Haji, bulan Idul Adha, bulan terakhir dalam kalender penanggalan Islam sebentar lagi berlalu. Tahun baru Islam atau yang dikenal dengan tahun baru Hijriyah pun menjelang. Umat Muslim di seluruh dunia dalam hitungan hari akan meninggalkan tahun 1433 H sekaligus menapaki tahun yang baru, 1434 H. Masa satu tahun yang telah berlalu tentu menjadi bahan refleksi bagi setiap Muslim untuk berevaluasi diri terhadap kehidupannya. Amalan setahun silam telah menjadi milik sang waktu. Setiap Muslim kini sibuk mempersiapkan diri untuk ber-hijrah ke tahun yang baru, 1434 H.

Dalam sejarahnya, kalender tahun hijriyah ditetapkan sebagai sistem penanggalan Islam pada masa kekhalifahan Umar Bin Khattab. Khalifah Umar terdorong untuk membuat kalender hijriyah karena di masa kekhalifahannya banyak ditemukan kasus ketiadaan tanggal pada surat-surat, seperti surat yang beliau terima dari Abu Musa Al-Asy’ari, yang bunyinya “Surat-surat dari Anda datang kepada kami tanpa tanggal”.  Di samping itu, Umar juga pernah didatangi sahabat yang mendesak agar beliau membuat kalender tersendiri seperti halnya bangsa lain yang memiliki sistem penanggalan. Dua alasan tersebut menjadi landasan kuat Khalifah Umar untuk menjalankan proyek pembuatan kalender yang berlaku bagi umat Muslim.

Khalifah Umar membentuk tim pakar untuk memulai proyek dengan mendiskusikan dasar permulaan perhitungan tahun. Ada yang mengusulkan seperti perhitungan Romawi yang dimulai dari peristiwa perjalanan Zulqarnain menaklukkan dunia, ada juga yang mengusulkan penanggalan model Persia. Keduanya tidak disepakati dengan alasan bahwa masing-masing peristiwa tidak menampakkan sisi Islam. Para sahabat saat itu cenderung mengarahkan pada peristiwa sejarah dari Rasulullah sendiri. Para sahabat ada yang mengusulkan agar perhitungan kalender dimulai dari peristiwa diutusnya Rasulullah Muhammad SAW sebagai nabi. Namun, setelah melalui musyawarah yang matang, tim perumus kalender Islam menyepakati peristiwa hijrah Nabi dari Makkah ke Madinah sebagai permulaan tahun kalender Islam dan perhitungan bulan dan harinya berdasarkan siklus peredaran bulan. Khalifah Umar menyetujuinya karena mengangap peristiwa hijrah Rasulullah SAW beserta umat Muslim dari Makkah menuju Madinah sebagai tonggak awal sejarah Islam.
Setelah penentuan dasar permulaan sistem kalender disepakati, persoalan lain muncul. Bagaimana urutan bulan dalam satu tahunnya? Bulan apa yang layak ditetapkan sebagai bulan pertama dalam sistem kalender Islam? Sebagian umat Muslim kala itu mengusulkan Ramadan menjadi bulan pertama karena dinilai bulan yang suci. Tetapi, akhirnya para sahabat dan umat Muslim bersepakat memulai sistem penanggalan Islam dengan bulan Muharram. Bulan ini dipilih karena ibadah haji yang seakan-akan menjadi kewajiban pamungkas setiap Muslim terjadi pada Dzulhijjah, bulan sebelum Muharram. Oleh karena itu, bulan yang mengikutinya tepat untuk dikatakan sebagai bulan yang mengawali tahun yang baru. Alasan lainnya adalah meskipun Muharram bukanlah bulan saat peristiwa hijrah berlangsung, namun para sahabat meyakini bahwa pada bulan itulah niat hijrah dari Rasulullah SAW dan umat Muslim muncul. Sejak itulah diputuskan Muharram sebagai awal bulan sistem penanggalan Islam atau sistem kalender hijriyah. Penetapan awal kalender hijriyah tanggal 1 Muharam tahun 1 Hijriah bertepatan dengan tanggal 16 Juli 622 Masehi.

Di Balik Peristiwa Hijrah
Hijrah dapat diartikan pindah dari suatu tempat ke tempat baru. Sedangkan orang-orang yang berhijrah dalam konteks Islam pada masa Nabi dikenal dengan sebutan muhajirin. Peristiwa hijrahnya Nabi dari Makkah ke Madinah memang sangat monumental dalam sejarah Islam. Masifnya tindak kejahatan kaum musyrik di Makkah terhadap Rasulullah SAW dan perjuangan dakwahnya serta harapan besar penduduk Madinah akan kedatangan Rasulullah bersatu padu menjadi latar belakang utama di balik hijrah. Di Madinah sendiri, pada tahun ke-13 kenabian, sudah ada 73 orang penduduk Madinah yang mengikuti seruan Islam yang dibawa Rasulullah melalui dakwah para sahabat yang diutus ke Madinah. Saat berkunjung ke Makkah, umat Muslim Madinah yang telah mengetahui kekejaman kaum musyrik Makkah menemui Rasulullah dan bermaksud mengundang beliau beserta umat Muslim untuk berhijrah ke Madinah dengan jaminan perlindungan dan keselamatan penuh. Atas dasar wahyu Allah SWT dan tawaran warga Madinah itulah Rasulullah SAW memerintahkan umat Muslim di Makkah untuk berhijrah ke Madinah.
Dua bulan setelah kedatangan warga Madinah kepada Rasulullah, sekitar 150 kaum Muslimin berhijrah ke Madinah meskipun harus melewati tantangan berat. Ditulis oleh Ibnu Hisyam dalam karya monumentalnya, Tarikh Ibnu Hisyam, seorang sahabat bernama Suhaib ketika hendak berhijrah dihalang-halangi oleh orang-orang musyrik Suku Quraisy. Mereka berkata, “Dulu kamu datang kemari sangat miskin dan tidak dipandang sebelah mata. Kini kamu kaya raya. Kami tidak akan merelakan kamu pergi membawa kekayaanmu.” Suhaib menjawab, “Jika kuberikan semua kekayaanku kepada kalian, akankah kalian relakan aku pergi?” Kaum musyrikin Makkah pun menyetujui penawaran Suhaib. Para muhajirin lainnya juga mendapati tantangan serupa, yang sarat dengan berbagai macam intimidasi. Namun, kaum muhajirin kokoh pendirian dalam berislam, sebagaimana tujuan hijrah sendiri yaitu untuk mempertahankan tauhid dengan meninggalkan segala bentuk kemusyrikan.
Banyaknya warga Muslim Makkah yang berhijrah memantik kemarahan orang-orang musyrik. Puncaknya adalah usaha pencekalan Nabi yang diselidiki hendak berhijrah ke Madinah. Pembesar Quraisy menempatkan  beberapa pasukan untuk mengepung rumah Nabi. Mendapati hal ini, Nabi mencoba mengelabui pasukan Quraisy dengan meminta Ali Bin Abi Thalib untuk berbaring di kamarnya, sehingga ketika pasukan Quraisy mengintip, mereka akan mengira bahwa Nabi masih di rumahnya. Usaha tersebut berhasil. Nabi lolos dari usaha pencekalan dan menuju ke persembunyian di Gua Tsur didampingi sahabat Abu Bakar. Di gua itu, Nabi dan Abu Bakar bersembunyi  selama 3 hari untuk menghindari pengejaran.
Di Gua Tsur, mukjizat Allah turun untuk menyelamatkan Nabi dan Abu Bakar dari kejaran kaum Quraisy. Sarang laba-laba yang menutupi liang Gua Tsur yang sebelumnya robek karena Nabi dan Abu Bakar memasuki gua, telah kembali tertutup rapi seakan tidak ada yang memasuki gua. Orang-orang yang mengejar Nabi berpikir bahwa tidak mungkin beliau serta Abu Bakar berada di dalam gua karena sarang laba-laba yang menutupi pintu gua tidak rusak. Mereka juga melihat dua burung dara di dalam gua, yang jika ada orang pastilah terusik. Selain itu juga ada cabang pohon yang terkulai di mulut gua, sehingga mereka berfikir tidak ada jalan masuk tanpa menghalau atau menebang dahan-dahan tersebut. Para pengejar pun turun mengurungkan niat menggeledah Gua Tsur. Kisah mukjizat di Gua Tsur ini diabadikan dalam firman Allah, “Ingatlah tatkala orang-orang kafir (Quraisy) itu berkomplot membuat rencana terhadap kamu, hendak menangkap kamu, atau membunuh kamu, atau mengusir kamu. Mereka membuat rencana dan Allah membuat rencana pula dan Allah-lah Perencana terbaik” (QS. Al-Anfal: 30).
Perjalanan hijrah Rasulullah SAW ke Yatsrib, nama kota Madinah sebelumnya, dimulai ketika beliau dan Abu Bakar keluar dari tempat persembunyiannya di Gua Tsur pada tanggal 2 Rabi’ul Awwal (20 September 622 M) dan bertemu dengan rombongan umat Muslim lainnya yang juga berhijrah. Perjalanan tersebut menempuh jarak sekitar 500 km, dengan memakan waktu sekitar 10 hari. Untuk menghindari pengejaran, dibimbing oleh sahabat Abdullah bin ‘Uraiqith, Rasulullah SAW beserta rombongan mengambil jalan menuju Madinah yang tidak umum dilalui orang, yaitu menuju arah selatan kemudian menuju Tihama di dekat pantai Laut Merah.
Saat Rasulullah SAW dalam perjalanan menuju Yatsrib, penguasa Quraisy mengadakan sayembara untuk menangkap beliau dengan imbalan onta. Namun, usaha tersebut gagal karena para pengejar Nabi takluk di hadapan beliau. Salah satunya ialah seorang kepala suku bernama Buraidah Aslami, yang tunduk hatinya ketika bertatap muka dengan Nabi dan kemudian memeluk Islam saat itu juga, padahal sebelumnya ia diliputi kemarahan dan nafsu yang menggebu untuk menangkap beliau demi mendapatkan imbalan. Ia akhirnya pulang, dengan mengibarkan surban. Belakangan, seluruh anggota sukunya juga memeluk Islam.
Dalam perjalanan hijrah Nabi ke Madinah, banyak cerita yang menarik. Salah satunya adalah ketika Nabi dan rombongan mampir ke kemah Ummu Ma’bad yang berada di padang pasir. Ummu Ma’bad terkenal dermawan, gemar memberi makanan dan minuman kepada musafir. Namun, kala itu Ummu Ma’bad mengatakan tidak memiliki apa-apa kecuali kambing yang kurus, dan jika diperas pun tidak mengeluarkan susu. Nabi meminta izin untuk mencoba memeras susu kambing. Atas izin Allah, dari kambing kurus tersebut mengalir air susu yang melimpah. Tidak hanya untuk Ummu Ma’bad dan rombongan umat Muslim yang berhijrah, stok susu kambing masih berlimpah untuk suami Ummu Ma’bad yang saat itu sedang menggembala ternak.
Setelah menempuh perjalanan yang cukup jauh, sampailah Nabi di perkampungan Bani ‘Auf, yaitu sebuah desa bernama Quba, yang sudah dekat jaraknya dengan Yatsrib. Penduduk Quba seperti halnya penduduk Yatsrib telah menanti-nantikan kehadiran Nabi, sehingga ketika beliau memasuki desa, warga Quba bergegas keluar rumah menyambut beliau. Nabi menginap di Quba selama 4 hari. Di sana, beliau membangun masjid untuk pertama kalinya. Di desa ini pula, Ali bin Abi Thalib bergabung dengan rombongan setelah menyelesaiakan berbagai urusan yang diperintahkan Nabi di Makkah.
Dari Quba, rombongan muhajirin bergerak menuju Yatsrib. Masyarakat Yatsrib sudah menantikan kedatangan Rasulullah SAW. Ketika beliau memasuki Yatsrib, penduduk menyambut dengan meriah. Demi menjaga perasaan para warga agar tidak saling iri hati, Rasulullah membiarkan onta yang beliau tunggangi untuk memilih tempat perisitirahatan yang sekaligus menjadi bakal lokasi pembangunan Masjid Nabawi. Onta beliau yang bernama Quswa berjalan sekeliling dan selalu kembali ke tempat pertama kali menderum, yaitu di sebuah lahan kosong dekat rumah Abu Ayyub. Lahan tersebut adalah milik dua anak yatim yang bernama Sahl dan Suhail. Rasulullah membeli tanah tersebut untuk didirikan masjid di atasnya. Umat Muslim, baik yang berasal dari Makkah yang berhijrah atau disebut Muhajirin maupun umat Muslim Madinah yang menolong saudara sesama Muslim mereka atau yang disebut Ansar, bahu membahu membangun masjid.
Cakupan hijrah tentu akan terasa sempit jika hanya menilik kisah perjalanan Rasulullah dan umat Islam dari Makkah ke Yatsrib saja. Hijrah bermakna luas, diantaranya adalah bertujuan membangun tata kehidupan sosial masyarakat bahkan tata kenegaraan bangsa dengan merujuk pada nilai-nilai Islam. Salah satu langkah penting yang dilakukan Rasulullah SAW adalah mengganti nama Yatsrib menjadi Madinah, yang bisa diartikan sebagai kota peradaban. Untuk mewujudkan misi tersebut, terlebih dahulu Rasulullah mempersaudarakan antara kaum Muhajirin dan Ansar. Strategi muakhat atau mempersaudarakan yang diputuskan Rasulullah tersebut telah menjadi tonggak penting kemajuan peradaban dan perekonomian Madinah pada masa berikutnya.
Langkah yang juga cukup revolusioner dari Rasulullah SAW adalah ketika beliau menginisiasi deklarasi kemanusiaan untuk hidup berdampingan secara damai sesama penghuni kota Madinah, yang dikenal dengan Piagam Madinah. Piagam tersebut adalah manifestasi sekaligus strategi politik dan budaya untuk mengakomodir pluralitas agama dan etnis yang ada pada masyarakat Madinah. Islam bukanlah satu-satunya agama di Madinah, sebab ada pula umat Yahudi, Kristen, serta orang-orang Arab penganut agama nenek moyang yang telah lama mendiami Madinah. Dengan disepakatinya Piagam Madinah oleh para warga, setiap penduduk Madinah dijamin kemerdekaan beragamanya, serta hak-hak sosial politiknya. Konsekuensi bersama lain atas adanya Piagam Madinah adalah kesadaran untuk saling bekerjasama mempertahankan wilayah dari serangan luar. Piagam Madinah inilah yang selanjutnya menjadi pondasi penting terbentuknya civil society, masyarakat yang berperadaban serta negara bangsa yang berlandaskan semangat memuliakan kemanusiaan.
Peristiwa hijrah diabadikan dalam Alquran, di antaranya dalam Surat An-Nisa’ ayat ke-100: “Barangsiapa berhijrah di jalan Allah, niscaya mereka mendapati di muka bumi ini tempat hijrah yang luas dan rezeki yang banyak. Barangsiapa keluar dari rumahnya dengan maksud berhijrah kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian kematian menimpanya (sebelum sampai ke tempat yang dituju), maka sungguh telah tetap pahalanya di sisi Allah. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” (QS. An-Nisa’: 100).
Atas dasar peristiwa hijrah Nabi dan umat Muslim itulah maka sungguh sangat tepat langkah tim perumus sistem kalender Islam di bawah Khalifah Umar bin Khattab yang menjadikannya sebagai titik awal penanggalan Islam, karena hijrah merupakan simbol tonggak sejarah peradaban Islam.

Sumber: Lazuardi Birru

Tidak ada komentar:

Posting Komentar